Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja mengakomodasi sejumlah hal yang selama ini dipersoalkan usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM. Namun, definisi UMKM masih ditunggu.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah selama beberapa hari terakhir menyosialisasikan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Sosialisasi meliputi kluster koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah.
Pada Senin (12/10/2020), akun Instagram Kemenkop dan UKM menyosialisasikan pemberian akses pasar bagi pelaku UMKM dan koperasi.
Mengacu pada RUU Cipta Kerja Pasal 97 dan 104, pelaku UMKM dan koperasi diberi porsi paling sedikit 40 persen dari hasil produk dalam negeri untuk pengadaan barang/jasa pemerintah. Sebagai gambaran, anggaran pengadaan barang/jasa pemerintah pada 2020 sebesar Rp 725 triliun sehingga ada potensi besar bagi UMKM untuk memanfaatkan kesempatan itu.
Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun, saat dimintai pandangan, menilai positif soal dukungan bagi UMKM di RUU Cipta Kerja. Dukungan itu, antara lain, soal kemudahan dan kecepatan perizinan serta sertifikasi halal.
Satu hal di dalam RUU Cipta Kerja yang masih menjadi pertanyaan adalah menyangkut definisi atau kriteria UMKM, yang dinilai masih kabur.
”(Hal) Ini berbeda dengan UU No 20/2008 tentang UMKM yang jelas menyebutkan kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah dari sisi omzet dan kepemilikan aset,” kata Ikhsan.
Akumindo berpendapat, definisi atau kriteria UMKM harus dijelaskan di dalam peraturan pemerintah sebagai turunan undang-undang. Secara umum, RUU Cipta Kerja kluster UMKM dan koperasi dinilai dapat menjawab persoalan yang dihadapi pelaku UMKM.
Definisi atau kriteria UMKM harus dijelaskan di dalam peraturan pemerintah sebagai turunan undang-undang.
Ikhsan mencontohkan, banyak UMKM yang tidak mampu apabila harus memenuhi ketentuan sebelumnya mengenai upah minimum regional.
Akumindo dilibatkan dan dimintai masukan saat penggodokan RUU Cipta Kerja. Salah satu masukan Akumindo yang diakomodasi menyangkut sertifikasi halal.
”(Sertifikasi halal) usaha mikro kecil jadinya gratis, dibayarkan oleh pemerintah. Hal itu permintaan kami semua dan tertera di RUU Cipta Kerja,” katanya.
Ikhsan menambahkan, RUU Cipta Kerja dibuat untuk menyederhanakan sekian banyak UU di berbagai sektor, termasuk UMKM. Terkait hal tersebut, Akumindo tidak bisa terlalu berharap aturan turunannya dapat cepat dirampungkan.
”Namun, bagi kami, lebih cepat ada aturan UU ini akan lebih bagus. Meskipun kami dengar akan ada yang mengajukan uji materi,” ujarnya.
Secara terpisah, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Maxensius Tri Sambodo berpendapat, tantangan pengembangan ada pada sumber daya serta kapabilitas koperasi dan UMKM dalam menciptakan nilai tambah dari kesempatan yang diberikan kepada mereka.
”Dalam hal ini, level of playing field antara koperasi dan UMKM dengan badan usaha lainnya perlu mendapat perhatian,” katanya.
Tantangan pengembangan ada pada sumber daya serta kapabilitas koperasi dan UMKM dalam menciptakan nilai tambah dari kesempatan yang diberikan kepada mereka.
Aturan turunan
Seperti halnya saat menggodok RUU, Akumindo berharap juga dilibatkan dalam penyusunan PP nantinya. Ia menyarankan, semua pemangku kepentingan sebaiknya dilibatkan dalam penyusunan aturan yang bersifat teknis itu.
Ketua Umum DPP Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (Hipmikindo) Syahnan Phalipi mengatakan, Hipmikindo mengikuti sekitar enam kali forum tentang pembahasan RUU Cipta Kerja bidang UMKM. Mereka juga berharap nantinya dilibatkan dalam penyusunan PP.
”Poin kami, bagaimana nanti dibuat suatu PP untuk mengimplementasikan UU Cipta Kerja di lapangan agar UMKM bisa berusaha dengan baik dan membantu menyerap tenaga kerja,” kata Syahnan.
Berdasarkan data Kemenkop dan UKM, per akhir 2018, ada 64,194 juta UMKM di Indonesia yang menyerap 116,978 juta tenaga kerja. Data di laman yang sama, ada 123.048 koperasi aktif di Indonesia dengan 22,463 juta anggota.
Menkop UKM Teten Masduki mengatakan, tidak harus menunggu uji materi dalam penyusunan PP.
”Saya kira kami tidak harus menunggu karena biasanya di uji materi, kalau misalnya ada perbaikan, lebih ke parsial. Kami optimistis kluster koperasi dan UMKM hampir tidak ada yang perlu diuji materi,” katanya. (CAS)