Perubahan sejumlah pasal tentang pengutamaan produk dalam negeri, penciptaan nilai tambah di dalam negeri, serta kemitraan peternak dengan industri pada RUU Cipta Kerja membuat peluang usaha peternak lokal semakin kecil.
Oleh
M Paschalia Judith
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja mengubah pasal-pasal yang mengamanatkan pengutamaan produk dalam negeri, penciptaan nilai tambah di dalam negeri, serta kemitraan dengan industri sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Perubahan itu membuat peluang mendapatkan nilai tambah melalui usaha peternakan di dalam negeri makin berkurang. Peternak skala kecil juga berisiko makin kesulitan bersaing. Sebab, tanpa pelonggaran saja, sebagian di antara peternak skala kecil gulung tikar, kalah bersaing dengan perusahaan peternakan terintegrasi.
Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana, Kamis (15/10/2020), berpendapat, pemerintah mesti merumuskan aturan turunan secara komprehensif dengan melibatkan pemangku kepentingan sehingga komitmennya nyata, seperti komitmen mengedepankan kepentingan peternak sesuai amanat Pasal 34 RUU Cipta Kerja.
Guna mendukung komitmen itu, aturan turunan mesti menyatakan aspek perlindungan secara konkret bagi peternak dan kesempatan peternak mengambil peluang usaha yang ada.
Menurut Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University Muladno, RUU Cipta Kerja bukan solusi atas problematika riil yang tengah dihadapi peternak. ”Perubahan (dalam RUU Cipta Kerja) itu justru tidak menciptakan pekerjaan bagi peternak di desa,” ujarnya.
Pasal 36B Ayat (1) UU No 41/2014, misalnya, mengamanatkan, pemasukan ternak dan produk hewan dari luar negeri ditempuh apabila produksi dan pasokan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. Ayat (2), (3), dan (5) dalam pasal itu menyebutkan, pemasukan ternak harus berupa bakalan yang beratnya tak boleh melebihi batas berat tertentu.
Pengimpor juga diwajibkan menggemukkan bakalan di dalam negeri untuk memperoleh nilai tambah dalam jangka paling cepat empat bulan sejak pelepasan karantina. Namun, RUU Cipta Kerja mengubahnya, pemasukan ternak dan produk hewan dari luar negeri ditempuh untuk memenuhi kebutuhan dengan memperhatikan kepentingan peternak. Ketentuan impor ternak berupa bakalan pun tidak tertera dalam RUU Cipta Kerja.
Padahal, kata Muladno, ketentuan wajib impor produk ternak berupa bakalan bertujuan mendapatkan nilai tambah dan menciptakan kegiatan ekonomi di dalam negeri. Penggemukan bakalan juga menggerakkan petani penghasil hijauan pakan dan menghasilkan bahan baku pupuk.
Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi Yeka Hendra Fatika menilai, perubahan Pasal 36B UU No 41/2014 membuka peluang impor daging dan ayam beku yang berisiko membanjiri pasar. Produk impor cenderung lebih murah dibandingkan produk peternak dalam negeri.
Selain subsektor peternakan, RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan impor pangan di sejumlah UU. Impor tidak lagi mensyaratkan kecukupan stok dan produksi dalam negeri.
Sebelumnya, Kepala Biro Hukum Kementerian Pertanian Eddy Purnomo menyatakan, Indonesia punya dua pijakan, yakni ketahanan pangan untuk politik luar negeri dan kedaulatan pangan saat di dalam negeri. Pemerintah menjamin penyerapan lewat norma, standar, prosedur, dan kriteria turunan RUU. Namun, Indonesia mesti memperhatikan prinsip perdagangan bebas dan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).