Sektor perumahan berusaha bertahan di tengah pandemi Covid-19. Sejumlah strategi dilakukan, tetapi konsumen tidak serta-merta membeli rumah.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Permintaan rumah atau hunian di masa pandemi Covid-19 bergeser. Pemasaran properti yang cukup sulit di masa krisis membuat pengembang menawarkan berbagai kemudahan bagi konsumen. Namun, hal itu tidak serta-merta membuat konsumen langsung berangkat membeli hunian.
Meskipun demikian, harapan konsumen untuk bisa memiliki rumah tetap tinggi. Di masa pandemi Covid-19 yang membuat pola bekerja dari rumah berkembang, kebutuhan rumah yang aman dan nyaman serta menunjang kegiatan bekerja dari rumah menjadi pilihan.
Antusiasme masyarakat mencari rumah, antara lain, terlihat dari pameran properti yang digelar secara virtual, yakni Indonesia Virtual Property Expo yang diperpanjang hingga 15 Oktober 2020 dari rencana semula 22 Agustus-30 September 2020. Kondisi serupa juga terjadi pada Mandiri Festival Properti Indonesia Online 2020 yang diperpanjang hingga 24 Oktober 2020 dari rencana 9 September-10 Oktober 2020.
Kondisi perekonomian yang lesu membuat permintaan rumah oleh investor meredup. Investasi apartemen, terutama kelas mewah, cenderung ditinggalkan. Investor cenderung melihat dan menunggu situasi. Sebaliknya, kebutuhan rumah untuk ditinggali masih ada, bahkan tak terelakkan.
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, kekurangan rumah pada awal 2020 lebih dari 7,6 juta unit, yang sebagian besar merupakan kebutuhan masyarakat kelompok menengah ke bawah. Selain itu, masih ada kebutuhan rumah baru yang meningkat sekitar 800.000 unit per tahun.
Berdasarkan data rumah123.com dan 99.co, tren jumlah pengunjung laman properti itu pada triwulan Juli-September 2020 meningkat jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pencarian didominasi rumah seharga di bawah Rp 300 juta dan rumah seharga Rp 500 juta-Rp 1 miliar. Selama ini, pasokan rumah di segmen menengah belum tergarap maksimal.
Sejak ”seleksi alam” pasar properti, pengembang mulai membaca tren pasar dengan menggarap proyek-proyek rumah bagi konsumen yang ingin langsung menghuni. Pengembang berstrategi, antara lain, menyesuaikan ukuran rumah dan mendesain ulang perumahan untuk menekan harga dan menarik minat masyarakat.
Era pandemi Covid-19 memang membawa pergeseran pada dunia properti. Kabar baiknya, semakin banyak pengembang besar masuk ke proyek-proyek hunian segmen menengah ke bawah dengan harga di bawah Rp 1 miliar per unit. Pasar residensial yang sebelumnya terbagi dua, yakni rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan rumah segmen menengah ke atas yang menyasar investor, bergeser menjadi didominasi segmen menengah ke bawah.
Tantangannya, kendati minat masyarakat untuk mencari rumah segmen menengah ke bawah tetap besar, pengambilan keputusan terkait properti yang diincar tidak-serta merta terjadi. Konsumen memiliki banyak pertimbangan, antara lain keamanan finansial di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil, sebelum memutuskan membeli rumah.
Sebenarnya, saat ini merupakan momentum untuk mendorong pasar segmen menengah bawah secara optimal, baik dari sisi suplai maupun permintaan. Dorongan dari sisi permintaan, antara lain, kemudahan membayar cicilan uang muka dan proses akad kredit konsumen. Selain itu, diperlukan relaksasi dan percepatan kredit dari perbankan untuk merealisasikan pembangunan perumahan.
Di tengah kondisi sektor properti yang lesu, hunian menengah ke bawah menjadi ujung tombak pergerakan pasar properti. Kebijakan yang mendukung sektor ini menjadi kunci untuk memastikan pasar perumahan mampu bergeliat.
Tentunya, kebangkitan sektor properti akan berkontribusi terhadap penyerapan lapangan kerja dan memberikan efek berganda terhadap 170 subsektor industri terkait properti. (BM Lukita Grahadyarini)