Indonesia dipandang kurang menarik di mata investor hulu migas. Produksi migas dalam negeri terus turun. Oleh karena itu, perlu pembenahan menyeluruh di sektor hulu untuk memperbaiki lagi iklim investasi.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembenahan di sektor hulu minyak dan gas bumi di Indonesia mutlak segera dilakukan. Sektor hulu masih dibayangi ketidakpastian status Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas yang bersifat sementara. Di satu sisi, Indonesia dipandang kurang menarik di mata investor hulu minyak dan gas bumi.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2006-2009 Ari Soemarno menyatakan, harus ada perubahan mendasar dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang kini masih diproses DPR. UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja dinilai kurang komprehensif membahas sektor migas. Padahal, banyak tantangan menarik minat investor migas ke Indonesia.
”Situasi hulu migas di Indonesia tak menentu sehingga berakibat turunnya produksi dan investasi. Iklim usahanya terus memburuk. Tak heran, Indonesia masuk kategori negara yang buruk untuk investasi hulu migas. Apa yang harus dilakukan? Harus ada perubahan mendasar dalam revisi UU Migas. Migas harus dipandang sebagai modal pembangunan, bukan semata sumber penerimaan negara,” kata Ari dalam webinar bertajuk ”Sewindu Keputusan Mahkamah Konstitusi Pembubaran BP Migas”, Jumat (13/11/2020).
Ari menambahkan, pemerintah tak boleh lagi mengulang ketidakkonsistenan kebijakan di hulu migas, seperti mengubah skema bagi hasil dengan biaya operasi yang dipulihkan (cost recovery) dan digantikan dengan bagi hasil berdasar produksi bruto (gross split). Begitu pula pemaksaan kehendak seperti yang terjadi di Blok Masela, Maluku, tentang pilihan pengelolaan gas di lepas pantai (off shore) dan di darat (on shore).
Harus ada perubahan mendasar dalam revisi UU Migas. Migas harus dipandang sebagai modal pembangunan, bukan semata sumber penerimaan negara.
”Akibatnya, investor menjadi patah arang. Padahal, tanpa investor itu, Indonesia kesulitan mengembangkan potensi dan sumber daya migas di dalam negeri. Pertamina memiliki keterbatasan dalam hal pendanaan maupun teknologi,” ucap Ari.
Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Kholid Syeirazi, yang menjadi salah satu pembicara, mengatakan, terkait kelembagaan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang dibubarkan Mahkamah Konstitusi sejak 2012 dan berganti menjadi SKK Migas, negara harus membentuk badan pengganti dengan status yang lebih pasti.
Menurut dia, negara hanya menjalankan fungsi kebijakan dan pengaturan, bukan pengelolaan. ”Desain kelembagaan yang baru nanti harus memperhatikan aspek konstitusional, kemudahan berinvestasi, dan berkesinambungan,” ujar Kholid.
Sementara itu, anggota Komite Urusan Regulasi pada Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA), Ali Nasir, menambahkan, perbaikan hulu migas Indonesia lewat revisi UU No 22/2001 harus dapat memperkuat struktur kelembagaan, yaitu apakah dengan membentuk BUMN khusus sebagai pengganti SKK Migas serta perbaikan fiskal. Begitu pula kepastian hukum atau kontrak yang harus dijaga.
”Jaminan kontrak harus dihormati dan dilaksanakan tanpa mengurangi hak-hak investor. Lalu, harus ada kepastian mengenai perselisihan kontrak atau hasil audit yang diperselisihkan, diselesaikan dengan mekanisme perdata, bukan pidana,” kata Ali.
Jaminan kontrak harus dihormati dan dilaksanakan tanpa mengurangi hak-hak investor.
Mengenai memburuknya iklim investasi hulu migas Indonesia, Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman mengakui bahwa tantangan memperbaiki iklim investasi adalah rumitnya perizinan, aturan yang tumpang tindih antara pusat dan daerah, kurang lengkapnya data, hambatan di daerah operasi, serta masalah pembebasan lahan. Di tengah situasi makin tak seimbangnya antara produksi migas dan kebutuhan nasional, kata dia, harus ada penemuan cadangan berskala raksasa.
”Indonesia membutuhkan penemuan cadangan baru berskala besar. Itu bisa diwujudkan dengan investasi yang masif. Apabila payung hukumnya bagus, kami yakin semua potensi dan sumber daya migas yang ada di Indonesia bisa dijadikan cadangan terbukti,” ujar Fatar.
Pada 2012, MK membubarkan BP Migas lantaran lembaga tersebut dianggap tidak konstitusional karena tidak melakukan pengelolaan migas secara langsung. Kontrak BP Migas, selaku wakil negara, dengan perusahaan justru mendegradasi kedaulatan negara dalam mengelola sumber daya alam. Pemerintah lantas membentuk SKK Migas, sebagai lembaga yang bersifat sementara, sampai diperbaikinya UU No 22/2001 tersebut.