Tanpa Kemudahan Sertifikasi, UMKM Sulit Tingkatkan Daya Saing
Sertifikasi produk UMKM dapat meningkatkan pemasaran dan menembus pasar global, terlebih setelah ditandatanganinya perjanjian RCEP. Untuk itu, perlu penyederhanaan proses sertifikasi tanpa mengurangi kualitas produk.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sertifikasi bagi produk usaha mikro, kecil, dan menengah dapat menjadi tiket masuk untuk memperluas pasar, bahkan untuk menembus pasar global. Terlebih, Indonesia bersama 14 negara di kawasan Asia Pasifik telah menandatangani perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP).
Namun, sejumlah pelaku usaha masih menghadapi kendala proses sertifikasi. Misalnya, untuk sertifikat produksi pangan industri rumah tangga (PIRT), sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia, sertifikat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan sertifikat hak kekayaan intelektual.
Catatan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, yang dikutip pada Senin (16/11/2020), menunjukkan, produk usaha kecil dan menengah (UKM) Indonesia masih belum bisa memenuhi standar global. Hanya 1,2 juta UKM yang memiliki sertifikat merek dan 49.000 UKM yang memiliki sertifikat hak paten dari total 64,19 juta unit UKM.
Puspitaningrum Pratiwi (46), pelaku usaha mikro dengan nama usaha Gerai D’pita di Depok, Jawa Barat, menjadi salah satu pelaku usaha yang mengaku kesulitan dalam memperoleh sertifikat izin edar dari BPOM. Pasalnya, dapur untuk memproduksi LesGo D’pita (lele siap goreng) masih menyatu dengan dapur rumah tangga.
Mewakili para UMKM, Puspitaningrum menyampaikan, mereka berharap perizinan legalitas usaha bagi UMKM diberi kemudahan oleh pemerintah, baik secara prosedur maupun keringanan biaya.
”Terutama bagi produsen olahan frozen food seperti saya masih susah mendapatkan MD (makanan dalam) BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Soalnya terkendala lokasi produksi yang masih menyatu dengan rumah tinggal (satu pintu untuk masuk bahan baku dan keluar barang jadi),” kata Puspitaningrum.
Muhammad Ade Prasetyo (27), pemilik Rumah Pojok Gurame As-Syifa, Kota Tangerang Selatan, juga mengalami kendala serupa. Setelah sembilan bulan memulai usaha, Ade belum mencoba mendaftarkan usahanya, baik untuk sertifikat halal maupun sertifikat izin edar BPOM, karena menilai proses yang rumit dan biaya yang tinggi.
”Alhasil, saya pernah ditolak restoran untuk menjadi penyuplai karena tidak ada sertifikasi. Saya harap ke depannya pemerintah dapat menyosialisasikan dan membantu pelaku usaha yang kecil dan mikro untuk dipermudah dalam mendapatkan sertifikat,” kata Ade.
Begitupun dengan Harin Riandrini (55), pemilik usaha Citra Cake and Catering Service di daerah Cilacap, Jawa Tengah, yang mengalami kesulitan dalam proses sertifikasi. Meski sudah mendapatkan sertifikat produksi PIRT, sudah dua tahun lebih ia menunggu sertifikat halal yang dikatakan masih dalam proses.
”Saya menyadari sertifikat ini penting untuk memperluas pasar dan meningkatkan kepercayaan konsumen. Tetapi, memang prosesnya tidak semudah itu. Saya sudah berulang kali datang ke pemerintah, tetapi tetap tidak tembus,” kata Rini yang telah menjalankan usaha lebih dari 15 tahun.
Sederhanakan proses
Ekonom senior dari Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD), Rashmi Banga, menilai, aturan-aturan liberalisasi dalam RCEP akan membatasi ruang kebijakan setiap negara. Perjanjian perdagangan bebas juga berpeluang merugikan negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) hingga 22 miliar dollar AS.
Termasuk Indonesia yang berpotensi mengalami defisit perdagangan barang hampir 1,4 miliar dollar AS dari kehilangan tarif akibat RCEP. Menurut Banga, sejumlah sektor di Indonesia yang akan dirugikan, antara lain, otomotif, produksi besi baja, gula, dan pangan olahan.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti menyampaikan, perjanjian RCEP berpeluang besar merugikan perekonomian dan ruang hidup masyarakat Indonesia. Dengan bergabung dalam RCEP, ekonomi Indonesia diperkirakan hanya akan tumbuh 0,05 persen pada 2030.
”Ini kontras dengan narasi pemerintah yang mengharapkan ekonomi membaik dari RCEP. Keadaan ini malah sebaliknya, Indonesia yang akan menjadi sasaran pasar bagi negara dagang RCEP,” kata Rachmi.
Sementara itu, Ketua Asosiasi UMKM Ikhsan Ingratubun menilai, perjanjian perdagangan bebas RCEP sebenarnya memberikan peluang sekaligus tantangan bagi UMKM. Hal yang harus dipersiapkan, yaitu meningkatkan kualitas produk UMKM.
”Covid-19 ini merupakan pelajaran besar bagi kita semua betapa pentingnya keberpihakan pada UMKM untuk menolong ekonomi. Maka, penting tidak hanya memberikan pembinaan, tetapi juga bagaimana sampai produk UMKM bisa terserap pasar,” ujarnya.
Penyederhanaan proses sertifikasi, kata Ikhsan, merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan agar produk UMKM dapat berdaya saing. Namun, penyederhanaan tidak berarti menurunkan kualitas produk.
Menurut dia, konsep komprehensif dari hulu ke hilir bagi UMKM perlu dimulai selambatnya tahun 2021. Melalui konsep ini, produk UMKM akan dibina dan diproses sesuai standar yang ditetapkan pemerintah sehingga hasil produksi bisa langsung terserap.
Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Rully Indrawan mengatakan, pemerintah sedang dalam proses menyederhanakan proses sertifikasi untuk produk-produk UMKM yang selama ini menyulitkan masyarakat. Regulasi kebijakan dikatakan sedang disusun.
”Kami terus berdiskusi dengan pihak terkait untuk menyederhanakan proses sertifikasi karena memang kami menghadapi keprihatinan yang sama. Misalnya, penggunaan laboratorium di sejumlah perguruan tinggi sehingga tidak semua harus ke Jakarta untuk proses sertifikasi,” kata Rully.
Ada pula pembangunan dapur bersama yang direncanakan direalisasi secara komprehensif pada 2021. Melalui dapur bersama, produksi dapat dilakukan menggunakan standar yang ditetapkan dan higienitas terjamin.