Temuan kontaminasi virus korona tipe baru terhadap produk perikanan Indonesia yang dikirim ke China menjadi lampu kuning dalam penerapan dan pengawasan standar keamanan pangan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengawasan ketat hulu-hilir perikanan tak bisa ditawar. Langkah ini sekaligus menunjukkan keseriusan Indonesia untuk memastikan produk perikanan yang diekspor memenuhi standar keamanan pangan.
Untuk kedua kalinya muncul temuan kasus virus korona tipe baru pada kemasan dan produk perikanan yang dikirim ke China. Kasus pertama pada September 2020, yakni temuan virus korona tipe baru pada kemasan luar produk ikan layur beku yang dikirim PT PI yang berdomisili di Sumatera Utara,
Adapun kasus kedua, pada 10 November 2020 Otoritas Bea dan Cukai China mengumumkan temuan kontaminasi virus korona tipe baru pada produk ikan bawal beku asal Indonesia. Produk dikirim PT ALI yang berdomisili di Jawa Timur.
Atas temuan itu, China menghentikan sementara pengiriman ikan dari kedua perusahaan tersebut selama tujuh hari.
Saat ini PT PI sudah kembali mengekspor produk perikanan ke China, sedangkan PT ALI masih dalam tahap investigasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kepala Pusat Pengendalian Mutu Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM-KKP) Widodo Sumiyanto di Jakarta, Kamis (19/11/2020), menyampaikan, tindak lanjut dari temuan itu mengarah pada upaya pencegahan agar kejadian serupa tidak berulang.
Ia mengakui, hingga kini belum ada kesepakatan di tingkat global yang memastikan kontaminasi virus korona tipe baru pada produk makanan akan membahayakan konsumen.
Tindak lanjut dari temuan itu mengarah pada upaya pencegahan agar kejadian serupa tidak berulang.
Namun, hasil temuan China tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi China merupakan negara tujuan ekspor perikanan utama pada 2019.
Menurut data BKIPM-KKP, pada 2019, volume ekspor produk perikanan terbesar ke China 438.122 ton, disusul Amerika Serikat 218.184 ton, dan Jepang 113.808 ton.
Adapun nilai ekspor perikanan terbesar ke AS 1,87 miliar dollar AS, diikuti China 1,29 milar dollar AS, dan Jepang 0,64 miliar dollar AS.
Widodo menambahkan, pihaknya tengah menanyakan metode analisis dan pengujian sampel yang digunakan otoritas China. Tujuannya, untuk menyamakan metode pengujian sampel.
Di sisi lain, pihaknya meminta unit pengolahan ikan meningkatkan kewaspadaan dan kendali dalam rantai suplai hulu-hilir. Hal itu meliputi produksi perikanan tangkap dan budidaya, pengolahan, serta distribusi dan logistik.
Selain itu, menerapkan pencegahan kontaminasi virus korona tipe baru di seluruh rantai produksi.
”Kami segera mengirimkan surat edaran kepada unit pengolahan ikan untuk memastikan penerapan standar keamanan pangan dan pengendalian rantai proses hulu-hilir untuk mencegah kontaminasi virus korona tipe baru,” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Pengolahan dan Bina Mutu KKP Trisna Ningsih menjelaskan, standar keamanan pangan dalam proses pengolahan telah diterapkan secara ketat oleh unit pengolahan ikan. Namun, penerapan standar di hilir harus ditunjang penerapan standar keamanan pangan dari sisi hulu, yakni dalam proses produksi perikanan tangkap dan budidaya.
Penerapan standar di hilir harus ditunjang penerapan standar keamanan pangan dari sisi hulu.
Saat ini ada 975 unit pengolahan ikan skala menengah dan besar yang sudah mengantongi sertifikat kelayakan pengolahan. (LKT)