Substitusi Impor Mesti Dimulai dengan Membangun Hulu
Pemerintah ingin mengubah dominasi bahan baku impor industri makanan dan minuman yang kini mencapai 62 persen. Namun, tanpa usaha membenahi hulu terlebih dulu, target substitusi diyakini bakal sulit terwujud.
Oleh
M Paschalia Judith J/Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah menggeser dominasi impor bahan baku untuk industri makanan-minuman mensyaratkan penguatan produksi di hulu melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Ada sejumlah hambatan yang perlu diselesaikan guna meningkatkan daya saing dan mengejar tuntutan kebutuhan.
Kementerian Perindustrian mencatat, 62 persen kebutuhan bahan baku industri makanan-minuman berasal dari impor. Pemerintah menargetkan dapat menekan impor bahan baku, khususnya pada empat subindustri, yakni pengolahan susu, buah, gula berbasis tebu, dan pemurni jagung.
Terkait dengan rencana itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat, saat dihubungi, Jumat (20/11/2020), berpendapat, pemerintah perlu menyiapkan strategi. Khusus untuk memenuhi kebutuhan gula, misalnya, perlu ada strategi ekstensifikasi berupa penambahan lahan dan intensifikasi yang berorientasi pada peningkatan produktivitas. Keduanya perlu jalan beriringan dan peta jalan terperinci.
Terkait dengan substitusi jagung, Ketua Bidang Riset dan Teknologi Dewan Jagung Nasional Tony J Kristianto menyebutkan, ada perbedaan antara kebutuhan industri pakan dan pangan. Industri pakan menggunakan jenis jagung kuning (yellow corn) ,sedangkan industri pangan mengimpor jagung gigi-kuda (dent corn) karena kandungan patinya.
Akan tetapi, Indonesia belum memiliki benih jagung gigi-kuda yang dapat ditanam petani. Jagung kuning lokal pun masih menghadapi kendala, salah satunya produktivitas yang di bawah 4 ton per hektar.
Sementara itu, Ketua Dewan Persusuan Nasional Teguh Boediyana menyebutkan, susu segar dalam negeri hanya mampu memenuhi 10-20 persen kebutuhan nasional. Mayoritas bahan baku industri susu diimpor dalam bentuk bubuk dan lemak.
Guna memenuhi 90 persen kebutuhan susu nasional, pemerintah mesti menyiapkan 2,5 juta ekor populasi sapi betina. Sayangnya, populasi sapi betina saat ini hanya berkisar 300.000-400.000 ekor.
Menurut Teguh, substitusi bahan baku impor pada industri susu membutuhkan payung hukum yang mampu menyokong perkembangan persusuan nasional serta memberikan jaminan kepada peternak sapi perah rakyat sebagai tumpuan.
”Peternak sapi perah rakyat merupakan aktor penting karena menggeliatkan ekonomi desa dan menciptakan lapangan kerja. Tanpa payung hukum, substitusi impor bahan baku susu hanya sekadar jargon,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim menyatakan, kontribusi bahan baku dalam negeri untuk industri makanan-minuman ditargetkan 60 persen. Target ini sejalan dengan program subtitusi impor 35 persen pada 2022.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gappmi) Adhi S Lukman mengatakan, industri makanan dan minuman saat ini kekurangan bahan baku. Akibatnya, impor bahan baku masih sangat tinggi. Sebagai contoh, industri makanan minuman masih mengimpor 80 persen kebutuhan susu, 70 persen kedelai, 100 persen gula, serta 80 persen garam untuk mutu tertentu.
Data Indonesia Economic Forum 2019 menunjukkan, produktivitas industri manufaktur tanaman pangan Indonesia masih di bawah Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Laos, dan Malaysia. Skor produktivitas Indonesia adalah 74,4, masih di bawah rata-rata skor produktivitas ASEAN, yakni 78,2.
Adhi mengatakan, peran BUMN dan swasta sangat penting untuk membangun rantai pasok yang tangguh dan menghasilkan bahan baku berkelanjutan di dalam negeri. ”Pemerintah harus memetakan prioritas sumber daya alam dan komoditas sesuai kebutuhan industri,” ujarnya.