Kasus Benur Momentum Tata Kelola Komoditas Hasil Laut
Terbukanya pasar dunia akan hasil tangkapan udang mantis telah memacu eksploitasi di habitatnya di pantai timur Jambi. Perlu dilakukan tata kelola sebagai bentuk antisipasi atas ancaman kepunahan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS—Kasus suap perizinan usaha budidaya dan ekspor benih lobster jadi momentum bagi pemerintah memulai tata kelola komoditas kelautan lainnya. Daerah memiliki beragam komoditas unggulan yang potensial mendongkrak devisa negara tetapi perlu dimulai tata kelolanya sejak dini.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, Sufrayogi Syaipul, mengatakan selama ini perairan Tanjung Jabung selalu dijadikan pintu keluar penyelundupan benur. Sehingga tumbuh anggapan wilayah itu sarang penyelundupan.
Padahal, Tanjung Jabung Barat memiliki potensi besar komoditas udang mantis atau udang belalang (Harpiosquilla raphidea) yang bernilai ekonomi tinggi dan juga diminati pasar dunia. Harga udang mantis bernilai Rp 150.000 per ekor ukuran 300gram. “Potensinya sebagai komoditas ekspor tak kalah bersaing,” katanya, Jumat (27/11/2020).
Penangkapan dan ekspor udang mantis selama ini belum diatur pemerintah. Status konservasinya belum masuk kategori dilindungi. Namun, ujar Yogi, jika tidak diatur tata kelolanya sejak dini, eksploitasi udang mantis yang tak terkendali dikhawatirkan akan berdampak pada menyusutnya populasi di habitatnya. Karena itu, perlu diatur pula cara penangkapan udang mantis di alamnya.
Berdasarkan data Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Jambi Kementerian Kelautan dan Perikanan, sejak terbukanya pasar ikan mantis di tahun 2014, tangkapan komoditas itu terus meningkat. Analisa data pengiriman jenis udang itu dari Jambi sejak 2015 tercatat naik rata-rata 23 persen per tahun. Pada 2015, pengiriman udang mencapai 2,48 juta ekor, meningkat pada 2016 menjadi 3,16 ekor. Selanjutnya, tahun 2017, naik lagi menjadi 3,78 juta ekor.
Perdagangan udang mantis menjadi penyumbang penting bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Nilai penjualannya sebesar Rp 48,7 miliar tahun 2015, naik menjadi Rp 63,3 miliar pada 2016, dan Rp 77,3 miliar pada 2017.
Lebih dari 3.000 nelayan di kampung nelayan dan sekitarnya menggantungkan hidup dari tangkapan udang mantis.
Tangkapan hasil laut berbasis udang mantis pun tumbuh menjadi sandaran bagi ribuan nelayan di Tanjung Jabung Barat. Lebih dari 3.000 nelayan di kampung nelayan dan sekitarnya menggantungkan hidup dari tangkapan udang mantis.
Kepala Seksi Pengawasan, Pengendalian, dan Informasi BKIPM Jambi, Paiman, mengatakan perdagangan udang mantis hanya mengalami penurunan beberapa bulan selama masa pandemi tahun ini. Pengiriman udang mantis terendah pada Maret 170.235 ekor dengan nilai Rp 11,92 miliar. April mulai naik menjadi 212.200 ekor dengan nilai Rp 14,84 miliar. Perdagangan udang mantis setelahnya terus naik. Bahkan pada Oktober, perdagangan mencapai 484.518 ekor dengan nilai transaksi Rp 33,89 miliar.
Ia melanjutkan, populasi udang mantis sangat banyak di alamnya. Udang mantis cocok pada habitat pesisir berlumpur dan rawa bakau.
Pengelola agen udang di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Salwa, mengatakan udang-udang dikirim ke Jakarta. Namun, dari Jakarta, udang diekspor ke Singapura dan China. Potensi pasar di masa normal terbuka sangat lebar.