Tak Cukup Hanya Insentif untuk Capai Target Bauran Energi Nasional
Potensi sumber energi terbarukan Indonesia luar biasa besar, tapi pemanfaatannya masih minim. Indonesia masih berkutat pada soal kepastian hukum dan soal daya saing harga listrik energi terbarukan dengan dari fosil.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk mencapai target bauran energi nasional pada 2025, tak cukup dengan memberikan insentif. Kebijakan tersebut perlu ditopang dengan kolaborasi lintas kementerian dan lembaga, swasta, serta kejelasan penetapan harga jual listrik yang bersumber dari energi terbarukan.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Nathan Kacaribu menilai, harga listrik dari sumber energi terbarukan masih kurang kompetitif dibandingkan dengan listrik dari pembakaran batubara. Apalagi, ada masalah dalam hal penetapan harga dan akses pembiayaan proyek energi terbarukan.
Pemerintah juga telah memberikan berbagai insentif untuk proyek energi terbarukan, antara lain tax allowance, tax holiday, dan pembebasan bea masuk impor. Namun, insentif saja belum cukup untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
”Diperlukan dukungan dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan. Bekerja sama dan memegang teguh komitmen untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia,” ujarnya dalam seminar daring ”Mobilizing Financial Resources to Support Renewable Energy to Achieve the 2050 Energy Transition Target”, Jumat (27/11/2020).
Menurut Febrio, Indonesia perlu bekerja keras demi mencapai target bauran energi nasional pada 2025. Pada tahun tersebut, porsi energi baru dan terbarukan ditargetkan sebesar 23 persen.
Di satu sisi, ketergantungan Indonesia pada batubara, minyak, dan gas bumi masih tinggi. ”Impor migas diperkirakan masih tetap tinggi di masa mendatang. Oleh karena itu, pengembangan energi terbarukan diperlukan untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional,” katanya.
Ketergantungan Indonesia pada batubara, minyak, dan gas bumi masih tinggi.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi sumber energi terbarukan di Indonesia sebesar 417.800 megawatt (MW). Potensi terbesar ada pada tenaga surya yang mencapai 207.800 MW peak (MWp), lalu tenaga bayu 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, panas bumi 23.900 MW, dan gelombang laut 17.900 MW.
Dari semua potensi itu, yang termanfaatkan baru 10.400 MW atau sekitar 2,4 persen saja. Sementara porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional masih sekitar 10,9 persen.
Penasihat Program The Clean Energy Finance and Investment Mobilisation (CEFIM) Indonesia Aang Darmawan mengatakan, melihat potensi energi terbarukan di Indonesia yang sedemikian besar, Indonesia berpeluang mendapat berbagai program pendanaan. Untuk mencapai target bauran energi pada 2025, Indonesia memerlukan pembiayaan hingga 10 miliar dollar AS. Peran lembaga donor sangat penting untuk membantu pencapaian target tersebut.
”Bagaimana bentuk penyaluran pendanaan ini? Dana publik dari lembaga internasional bisa diperoleh dari green climate fund, global environment facility, adaptation fund, ataupun multilateral development banks,” ujar Aang.
Sementara, lanjutnya, sumber pendanaan dari dalam negeri tidak hanya dari APBN dan APBD. Pembiayaan proyek energi terbarukan juga bisa dilakukan lewat green SUKUK (konsep investasi syariah untuk pembiayaan proyek energi bersih) atau pembiayaan dari PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero). Namun, seluruh dukungan pembiayaan tersebut mensyaratkan kepastian hukum di sektor energi terbarukan.
Isu utama terhadap pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah mengenai harga jual listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan.
Isu utama terhadap pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah mengenai harga jual listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan. Listrik yang dihasilkan harus dijual ke PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebagai satu-satunya badan usaha yang ditunjuk sebagai penyedia energi listrik di Indonesia. Kerap kali harga listrik energi terbarukan lebih mahal ketimbang dari pembakaran batubara.
Persoalan lainnya adalah konsistensi kebijakan di sektor tersebut. Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Prijandaru Effendi berpendapat, aturan dan berbagai kebijakan pemerintah terkait energi terbarukan kerap bersifat kontraproduktif. Aturan yang dikeluarkan terkadang menganulir aturan yang sebelumnya diterbitkan.
”Situasi semacam ini membuat pengembangan energi terbarukan di Indonesia dibayangi ketidakpastian,” ujarnya.