Chatib Basri: Ada Potensi Risiko, Hanya Kelompok Menengah Atas yang Selamat
Risiko akan ada. Pemulihan ekonomi berbentuk huruf K bisa terjadi, di mana yang akan selamat dari pandemi Covid-19 adalah kelompok menengah atas.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 bukan hanya menekan pertumbuhan ekonomi, melainkan memperlebar jurang ketimpangan. Masalah ketimpangan akan memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat dan mengambat pemulihan masa depan. Ada potensi risiko di mana kelompok menengah atas yang selamat.
Ekonom senior dan Menteri Keuangan periode 2012-2013 Chatib Basri menuturkan, Indonesia berisiko mengalami tren pemulihan ekonomi menyerupai huruf K. Kelompok menengah atas akan naik kelas, sementara kelompok menengah bawah turun kelas. Akibatnya, ketimpangan semakin melebar.
Kelompok menengah atas akan selamat dari krisis Covid-19 karena memiliki tabungan yang cukup dan akses internet yang mumpuni. Mereka juga mampu mentransformasikan dirinya ke dunia digital. Kondisi sebaliknya terjadi pada kelompok menengah bawah yang serba terbatas.
”Risiko akan ada. Pemulihan ekonomi berbentuk huruf K bisa terjadi, di mana yang akan selamat dari pandemi Covid-19 adalah kelompok menengah atas,” kata Chatib dalam webinar Konferensi Nasional Perpajakan, Kamis (3/12/2020).
Risiko akan ada. Pemulihan ekonomi berbentuk huruf K bisa terjadi, di mana yang akan selamat dari pandemi Covid-19 adalah kelompok menengah atas.
Pada Maret 2020, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 26,42 juta orang miskin di Indonesia. Jumlah ini naik 1,63 juta orang dari September 2019. Sementara rasio gini yang menunjukkan ketimpangan di Indonesia, per Maret 2020 sebesar 0,381. Angka ini lebih tinggi 0,001 dari September 2019. Rasio gini berkisar 0-1. Semakin mendekati 1, menandai ketimpangan makin lebar.
Data kemiskinan dan ketimpangan terbaru ini sekitar satu bulan sejak kasus Covid-19 pertama diumumkan di Indonesia, yakni pada 2 Maret 2020. Garis kemiskinan pada Maret 2020 adalah Rp 454.652 per kapita per bulan.
Menurut Chatib, masyarakat yang tidak bisa melakukan transformasi secara cepat akan runtuh. Ketika krisis 1997/1998 banyak artis dan kelompok masyarakat atas berjualan makanan di tenda-tenda pinggir jalan demi bertahan hidup. Kondisi serupa terjadi saat ini dengan memanfaatkan platform digital.
”Tidak heran selama pandemi banyak masyarakat berjualan makanan di akun media sosial seperti Facebook atau Instagram. Mereka memaksa dirinya menjadi e-dagang,” kata Chatib.
Chatib menekankan, fakta yang ada menyiratkan risiko ketimpangan kian nyata. Pemerintah harus mengambil peran strategis untuk meminimalkan melebarnya jurang ketimpangan. Desain fiskal ke depan harus mempertimbangkan aspek kesenjangan jender, teknologi, inklusi keuangan, serta akses kesehatan dan pendidikan.
Ketimpangan global
Secara terpisah, Chief Economist and Managing Director DBS Bank Taimur Baig menuturkan, ketimpangan melanda hampir semua negara dengan peningkatan yang sangat mengkhawatirkan. Di Asia, angka ketimpangan di Indonesia dan India mulai meningkat awal pandemi Covid-19 merebak dan berpotensi kembali ke level satu dekade lalu.
Berdasarkan data yang diolah DBS, pelebaran ketimpangan akibat pandemi Covid-19 tidak membedakan negara maju maupun berkembang. Selain Indonesia dan India, ketimpangan teridentifikasi melebar di Amerika, Inggris, Jerman, dan Jepang. Segelintir negara yang ketimpangannya turun, yakni China dan Vietnam.
”Jadi kita telah sampai pada krisis ini atau benar-benar berada dalam posisi yang genting karena ekuitas pendapatan, kemungkinan besar orang-orang akan semakin memburuk selama pandemi ini,” ujar Baiq.
Di Asia, angka ketimpangan di Indonesia dan India mulai meningkat awal pandemi Covid-19 merebak dan berpotensi kembali ke level satu dekade lalu.
DBS Bank memproyeksikan pertumbuhan Indonesia pada 2020 negatif 2 persen, sementara 2021 pulih menjadi positif 4 persen. Pemulihan ekonomi masih dibayangi tren inflasi rendah yang diproyeksikan 2 persen tahun 2020 dan 2,2 persen tahun 2021.
Baiq menekankan, Indonesia menjadi salah satu negara Asia yang perekonomiannya paling tertekan karena kasus Covid-19 terus naik. Stimulus fiskal berkelanjutan dibutuhkan, tetapi harus dibarengi penyerapan lebih optimal dan tepat waktu. Implementasi UU Cipta Kerja diharapkan dapat mendorong pemulihan ekonomi berkelanjutan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan, Indonesia membutuhkan fondasi ekonomi yang kuat sehingga kebijakan tidak hanya diarahkan ke penanganan Covid-19. Peningkatan daya saing ditempuh melalui UU Cipta Kerja yang harapannya dapat memperkecil risiko pelebaran ketimpangan pascapandemi.