Pandemi Covid-19 menjadi titik tolak untuk berubah. Pandemi, sebagai keadaan yang tidak biasa, tak cukup dihadapi dengan cara-cara biasa.
Oleh
DEWI INDRIASTUTI
·3 menit baca
Dunia seketika dihadapkan pada banyak persoalan akibat pandemi Covid-19. Banyak negara tergagap-gagap menghadapi Covid-19, termasuk menyikapi dampaknya terhadap kesehatan, perekonomian, dan kemanusiaan.
Pandemi menimbulkan ketidakpastian baru. Padahal, dunia sudah dilingkupi bermacam-macam ketidakpastian, antara lain berupa faktor geopolitik serta perang dagang Amerika Serikat-China.
Di Tanah Air, Kabinet Indonesia Maju yang baru seumur jagung mesti berhadapan dengan masalah berganda. Pandemi menimbulkan krisis kesehatan yang merambat menjadi krisis ekonomi.
Selama ini kegiatan ekonomi diupayakan untuk menimbulkan dampak berganda. Misalnya, investasi yang masuk ke Indonesia diharapkan bisa meningkatkan produksi, menyerap tenaga kerja, dan mendongkrak ekspor. Dampak berganda itu tak selalu berhasil diperoleh.
Namun, pandemi Covid-19 dengan cepat menimbulkan dampak negatif berganda. Dampak yang sudah terjadi, di antaranya resesi dan tingkat pengangguran terbuka naik.
Pandemi Covid-19 dengan cepat menimbulkan dampak negatif berganda.
Hingga kini, Indonesia masih mencatat kenaikan kasus harian. Penambahan jumlah kasus ini belum melandai sejak pertama kali diumumkan di Indonesia pada 2 Maret 2020.
Pilihan kesehatan atau ekonomi yang sejak awal pandemi disodorkan, hingga 9 bulan berikutnya, tetap jadi pilihan. Titik tengah yang tepat belum ditemukan meskipun pemerintah berkali-kali menyatakan berpihak pada isu kesehatan.
Akhirnya, pilihan jatuh pada model gas-rem. Langkah-langkah yang serba tanggung telah memukul perekonomian masyarakat, tetapi tidak juga menekan jumlah penularan kasus. Sebagian masyarakat malah sudah lelah dan bosan menghadapi pandemi.
Pemerintah mengalokasikan Rp 695,2 triliun untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Untuk menjaga kondisi ekonomi, diterbitkan restrukturisasi kredit perbankan dan perusahaan pembiayaan, subsidi gaji atau upah pekerja yang bergaji bersih di bawah Rp 5 juta per bulan, serta bantuan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemerintah berupaya meyakinkan masyarakat agar kembali berbelanja dan berinvestasi.
Faktanya, kepercayaan masyarakat masih belum pulih. Bayang-bayang ketidakpastian masih sangat pekat. Hal ini terlihat dari realisasi belanja masyarakat yang masih tertahan. Bahkan, masyarakat menyimpan uang di rekening tabungan demi berjaga-jaga atas pandemi yang berkepanjangan.
Padahal, suku bunga acuan Bank Indonesia terus turun, yang per November 2020 sebesar 3,75 persen. Lembaga Penjamin Simpanan juga menurunkan tingkat bunga penjaminan menjadi 4,5 persen untuk simpanan rupiah di bank umum. Artinya, imbal hasil simpanan masyarakat di bank merosot.
Namun, menurut data BI per Oktober 2020, dana pihak ketiga tumbuh 11,6 persen secara tahunan, sedangkan penyaluran kredit justru tumbuh minus 0,9 persen secara tahunan.
Padahal, penyaluran kredit berkolerasi dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, uang yang tertahan bisa diartikan sebagai belanja yang berkurang. Hal ini antara lain juga terlihat dari inflasi inti yang masih rendah.
Selain itu, uang yang tertahan bisa diartikan sebagai belanja yang berkurang.
Proyeksi
Sepanjang tahun ini, proyeksi perekonomian berkali-kali diubah. Namun, tetap ada hal yang tak berubah, antara lain konsumsi masyarakat sebagai penopang produk domestik bruto (PDB), dominasi impor bahan baku dan penolong dalam barang impor, serta realisasi anggaran yang dipacu pada akhir tahun. Menjelang pengujung tahun ini, masih ada ratusan triliun rupiah dana pemda yang belum terserap.
Padahal, bagi sebagian orang, pandemi menjadi momentum untuk berubah. Perubahan dari menyediakan layanan konvensional menjadi platform digital serta menyediakan rencana antisipasi jika proyeksi meleset.
Ada yang menyebut pandemi sebagai momen untuk mereset kebijakan agar lebih antisipatif, lalu, memulai langkah baru. Pemerintah menuangkan langkah mereset kebijakan itu dalam bentuk Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menjanjikan pemulihan ekonomi.
Memasuki 2021, janji pemulihan itu bisa diungkit. Apalagi, pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi 5 persen pada 2021, sedangkan BI memperkirakan 4,8-5,8 persen. Optimisme ini antara lain dipicu kehadiran vaksin.
Yang pasti, langkah pada 2021 tidak bisa biasa-biasa saja. Sebab, pandemi tak cukup dihadapi dengan cara biasa.