Batas Kapasitas ”Feed in Tariff” Bisa Hambat Pengembangan
Pembatasan kapasitas 5 megawatt untuk skema ”feed in tariff” dinilai belum cukup menarik dari sisi skala keekonomian dan bisa menghambat upaya mempercepat pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Oleh
Aris Prasetyo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemberlakuan skema feed in tariff atau harga tenaga listrik berdasarkan biaya produksi diragukan dapat mempercepat pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Sebab, kapasitasnya dibatasi 5 megawatt dan dinilai belum cukup menarik dari skala keekonomian.
Pemberlakuan skema itu diatur dalam peraturan presiden (perpres) yang direncanakan terbit akhir tahun ini. Perpres tersebut dianggap sangat penting pengaruhnya bagi program transisi energi Indonesia.
Dalam draf rancangan perpres tentang harga jual beli tenaga listrik energi terbarukan disebutkan, penetapan feed in tariff akan diatur untuk pembangkit listrik tenaga hidro, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), tenaga biomassa, dan PLTS atap dengan kapasitas hingga 5 megawatt (MW). Adapun harga listrik dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) peaker, bahan bakar nabati, dan gelombang laut ditetapkan berdasarkan mekanisme kesepakatan antara pengembang dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Menurut Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni, skema feed in tariff dapat menguntungkan bagi pengembang listrik dari energi terbarukan. Sebab, listrik yang dihasilkan dibeli dengan harga yang rasional. Namun, pembatasan kapasitas 5 MW belum cukup menarik dari skala keekonomian.
”Mulanya mau dibuat sampai 20 MW yang bakal ditetapkan dengan skema feed in tariff, tetapi diturunkan menjadi 5 MW. (Penurunan) ini menjadi kurang menarik karena kapasitas 5 MW itu kecil dan kami menyebutkan ada di wilayah abu-abu,” ujar Riza saat dihubungi, Senin (28/12/2020).
Menurut Riza, keekonomian bisnis pembangkit listrik energi terbarukan akan menarik jika kapasitas yang dikembangkan semakin besar. Dengan kapasitas 5 MW dan serapan listrik yang rendah, secara volume tenaga listrik yang terjual jadi sedikit dan tidak menguntungkan.
”Kalau perpres ini mau dijadikan alat hukum percepatan pengembangan energi terbarukan, seharusnya kapasitas maksimal kebijakan feed in tariff diperbesar,” kata Riza.
Menurut rencana, perpres tersebut bakal terbit November 2020. Namun, hingga kini belum ada kabar kelanjutan penerbitannya. Perpres ini digadang-gadang jadi pendorong utama pemanfaatan sumber energi terbarukan di Indonesia.
”Belum ada perkembangan terbaru,” ujar Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agung Pribadi.
Pinjaman
Sementara itu, PLN kembali mendapat pinjaman 500 juta dollar AS atau setara Rp 7,1 triliun dari Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) yang merupakan anggota dari Bank Dunia. Kreditor dalam pinjaman ini, antara lain, DBS Bank, JP Morgan, KfW IPEX, OCBC, Standard Chartered Bank, dan SMBC. Pinjaman tersebut untuk mendukung proyek jangka panjang energi baru dan terbarukan, serta infrastruktur kelistrikan yang ramah lingkungan.
”Langkah ini bagian dari upaya PLN dan pemangku kepentingan untuk mewujudkan berbagai inisiatif energi hijau dan meningkatkan rasio energi baru dan terbarukan di Indonesia,” kata Direktur Keuangan PLN Sinthya Roesly dalam keterangan pers.
Pada 17 Desember lalu, PLN juga mendapat pinjaman dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dan KfW 910 juta dollar AS atau setara Rp 12,9 triliun. ADB memberikan pinjaman 600 juta dollar AS dan dari KfW 310 juta dollar AS. Pinjaman tersebut mendapat jaminan dari pemerintah melalui PT Penjamin Infrastruktur Indonesia (Persero).
Dana yang diperoleh tersebut akan dipakai untuk biaya penyambungan listrik pelanggan di kawasan Kalimantan, Maluku, Papua, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Program tersebut merupakan bagian dari rencana pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi di seluruh wilayah Indonesia. Program elektrifikasi ini diharapkan dapat merangsang aktivitas perekonomian di setiap daerah.