Pembatasan Sosial Berulang Bikin Cemas Pemilik Rumah Makan dan Kafe
Kebijakan pemerintah yang berulang kali mengendurkan dan mengetatkan pembatasan sosial, dalam rangka menekan penyebaran Covid-19, merugikan bisnis pedagang dan pemilik rumah makan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemilik rumah makan dan kafe kecil cemas dengan kebijakan pemerintah yang berulang kali mengendurkan dan mengetatkan pembatasan sosial dalam rangka menekan penyebaran Covid-19. Kebijakan pemerintah itu dinilai dapat merugikan pelaku usaha.
Hari ini, Senin (11/1/2021), mulai pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali hingga 25 Januari 2021. Berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 19 Tahun 2021, rumah makan harus membatasi kapasitas hanya 25 persen dan waktu makan di tempat sampai pukul 19.00. Layanan makanan melalui pesan-antar diizinkan sesuai dengan jam operasional restoran. Rumah makan yang dimaksud termasuk warung makan, kafe, restoran, pedagang kaki lima, atau lapak jajanan pada lokasi binaan atau sementara.
Sani, penjual tongseng di Pusat Kuliner Ex Pasar Blora Sementara, Dukuh Atas, Menteng, Jakarta Pusat, mengakui, kebijakan PPKM sudah dirasakan langsung dampaknya. Pusat kuliner itu biasa melayani pekerja kantoran hingga sopir ojek daring yang beraktivitas di kawasan bisnis Sudirman.
”Di jam makan siang tadi sudah terasa sepinya. Biasanya saya bisa melayani belasan pesanan, tadi cuma kurang dari 10 mangkok. Kalau malam ini ditutup jam 7, siapa juga yang mau mampir karena orang kantoran biasanya makan malam jam delapan ke atas,” ujarnya.
Adanya pembatasan tempat duduk dan penyediaan tempat cuci tangan, sesuai dengan protokol kesehatan, disebutnya tidak jadi penarik pembeli untuk datang. Pembatasan kapasitas pekerja kantor, yang hanya 25 persen selama PPKM, juga akan mengurangi pembeli.
Sebelumnya, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi yang berlaku mulai 18 Desember 2020 sampai 8 Januari 2021 masih membolehkan kantor terisi 50 persen dari kapasitas total.
Di lokasi berbeda, Bernard, penjaga salah satu kedai kopi kecil di bilangan Tosari, Jakarta Pusat, mengatakan, PPKM belum berdampak langsung pada penjualan di kafenya. Namun, ia mengakui, penjualan sejak pandemi masih di bawah rata-rata penjualan normal.
Pembeli yang datang untuk minum di tempat selalu di bawah 50 persen. Lebih banyak pembeli yang datang untuk membawa pulang kopi atau memesan lewat layanan pesan-antar daring (online delivery).
”Tapi, secara keseluruhan, penjualan masih sepi. Apalagi, kami sangat mengandalkan pekerja kantoran yang cenderung lebih suka datang langsung daripada pakai online delivery,” ucapnya.
Kebijakan pembatasan sosial kali ini juga dikeluhkan pemilik warung tegal (warteg). Ketua Koordinator Warung Tegal Nusantara (Kowantara) Mukroni mengatakan, ada kecemasan dari pedagang-pedagang warteg.
Pandemi telah menurunkan omzet penjualan warteg secara signifikan. Penjualan pesan-antar dengan memanfaatkan fasilitas layanan daring juga tidak menolong. Biaya layanan pesan-antar yang rata-rata 20 persen harga jual makanan pun akan membuat makanan warteg tidak lagi murah meriah.
”Sudah hampir setahun penjualan pedagang warteg jauh dari harapan. Padahal, untuk memperpanjang kontrak, mereka harus mengeluarkan modal investasi lagi,” ujar Mukroni yang memiliki usaha warteg di Jakarta dan Bekasi.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat (Kompas, 11/1/2021), menilai, penetapan PPKM oleh pemerintah pusat merupakan bukti bahwa PSBB yang dijalankan pemerintah daerah secara umum gagal menekan penularan Covid-19.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Jakarta, kasus Covid-19 di Ibu Kota mencapai titik tertinggi pascalibur panjang pada Agustus hingga Desember 2020.
PSBB yang dijalankan pada 14 September-11 Oktober 2020, menurut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, memang dilaporkan berhasil menurunkan kasus positif hingga 50 persen.
Akan tetapi, setelah PSBB kembali melonggar, angka kasus naik lagi. Bahkan, Anies mengatakan, per Desember 2020 tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan hanya 65 persen. Sebelumnya adalah 80 persen.
Salah satu dari penyebab turunnya kepatuhan warga, menurut Rakhmat, adalah kedisiplinan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang hanya diawasi seadanya.