Angkutan Publik Berbasis Listrik di Jakarta Terus Dikembangkan
Jakarta, sebagai kota terpadat di Indonesia, berkomitmen memperbanyak sarana transportasi publik rendah emisi, yaitu dengan bus listrik. Perlu dukungan pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jakarta menargetkan penggunaan bus angkutan umum nol emisi pada 2025 dengan berbasis bus bertenaga listrik. Dari hasil kajian, biaya bahan bakar bus bertenaga listrik jauh lebih murah ketimbang bus dengan berbahan bakar solar atau gas. Kendati pengembangan kendaraan listrik untuk mengurangi emisi penting, pembangkit listrik dari energi terbarukan juga tetap penting.
Staf Ahli Direktur Pelayanan dan Pengembangan PT Transjakarta Shadiq Helmy menyampaikan, Jakarta siap menyongsong era rendah emisi untuk transportasi publik jenis bus. Sampai 2025, Transjakarta akan mengoperasikan 8.882 unit bus. Dari jumlah tersebut, sedikitnya 4.441 unit bus adalah bus bertenaga listrik. Adapun sisanya masih menggunakan bahan bakar biosolar dan gas terkompresi (CNG).
”Sampai 2030, jumlah armada bus terus ditambah. Diharapkan pada 2030 jumlah armada mencapai 12.172 unit dengan penambahan dari pengadaan bus listrik,” kata Shadiq dalam webinar bertajuk ”Transportasi Publik Berbasis Listrik untuk Indonesia Lebih Bersih”, Rabu (20/1/2021), yang diselenggarakan oleh Coaction Indonesia.
Shadiq menambahkan, dari kajian efisiensi berbagai jenis bahan bakar bus Transjakarta, bus bertenaga listrik jauh lebih murah ketimbang bus berbahan bakar biosolar dan CNG. Bus berbahan bakar biosolar, biaya energinya Rp 2.575 per kilometer, sedangkan bus berbahan bakar CNG Rp 2.067 per kilometer. Adapun untuk kendaraan listrik biaya energinya sebesar Rp 796 per kilometer.
Bus berbahan bakar biosolar, biaya energinya Rp 2.575 per kilometer, sedangkan bus berbahan bakar CNG Rp 2.067 per kilometer. Adapun untuk kendaraan listrik biaya energinya sebesar Rp 796 per kilometer.
Kendati transportasi publik mulai menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan, imbuh Shadiq, akan lebih baik sumber pasokan listriknya berasal dari pembangkit berbahan bakar energi terbarukan, bukan batubara. Apalagi, potensi energi terbarukan di Indonesia sangat melimpah mencapai lebih dari 400.000 megawatt. Padahal, pemanfaatannya masih sangat kecil, yaitu sekitar 2 persen saja dari semua potensi tersebut.
Executive Director Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja menambahkan, transportasi publik yang nyaman akan memengaruhi kualitas regenerasi di perkotaan. Regenerasi di perkotaan akan baik apabila kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin tidak terlalu lebar. Salah satunya dipengaruhi oleh mutu infrastruktur dan fasilitas publik, termasuk transportasi.
Sementara itu, Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) SE Asia Director Faela Sufa, mengatakan, tak cukup transportasi publik yang nyaman, infrastruktur jalan di perkotaan juga perlu mendapat perhatian khusus. Sayangnya, kebanyakan kondisi jalan di perkotaan di Indonesia belum sepenuhnya dapat diakses oleh publik. Ruang tata pengaturan jalanan di perkotaan masih didominasi oleh kendaraan bermotor.
”Di beberapa ruas jalanan di Jakarta sulit sekali mendapatkan ruang yang nyaman bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda. Ruas jalanan amat didominasi oleh kendaraan roda dua atau mobil,” kata Faela.
Apabila sudah berdiri industri baterai untuk kendaraan listrik, penggunaan kendaraan listrik di dalam negeri diyakini meningkat.
Sebelumnya, dalam rapat kerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dengan Komisi VII DPR, Selasa (19/1/2021), pemerintah berkomitmen mendorong pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. Salah satu caranya adalah mempercepat pembangunan pabrik baterai untuk kendaraan listrik. Apabila sudah berdiri industri baterai untuk kendaraan listrik, penggunaan kendaraan listrik di dalam negeri diyakini meningkat.
”Rencana tersebut akan diperkuat dengan membangun infrastruktur berupa SPKLU di 2.400 titik dan stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) di 10.000 titik sampai 2025 mendatang,” ujar Arifin.
Untuk mempercepat pengembangan kendaraan listrik di Indonesia, menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, pemerintah harus mampu menciptakan pasar kendaraan listrik itu sendiri. Caranya dengan mendorong penggunaan kendaraan listrik sebagai kendaraan dinas pejabat di lingkungan pemerintahan pusat dan daerah, serta kendaraan angkutan umum. Apabila ada permintaan, industri bakal berminat untuk mendirikan manufaktur kendaraan listrik.
Pemerintah menargetkan sebanyak 15 juta kendaraan listrik, yang terdiri dari 2 juta unit roda empat dan 13 juta unit roda dua, beroperasi di Indonesia pada 2030. Target 15 juta kendaraan listrik diharapkan dapat menghemat impor bahan bakar minyak setara 77.000 barel per hari. Penghematan impor tersebut juga berhasil menghemat devisa senilai 1,8 miliar dollar AS dan menurunkan emisi gas karbon sebanyak 11,1 juta ton.