Harga bermacam bahan pokok yang terus naik membuat warga di Jakarta bersiasat dengan pengeluaran belanja. Demi tetap bisa membeli lauk, mereka mengurangi jatah belanja daging sehari-hari.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga di Jakarta mengurangi belanja daging karena harga yang terus tinggi selama pandemi Covid-19. Harga bahan pangan hewani ini terus naik sehingga sebagian warga tidak lagi mampu membeli dalam jumlah banyak.
Sejumlah warga merasakan harga produk daging di pasar tradisional naik perlahan sejak 2020 atau sekitar awal kemunculan pandemi. Hingga Rabu (20/1/2021), mereka tidak lagi sering membeli daging untuk konsumsi di rumah sehari-hari, terutama saat harga daging sapi kini hampir mencapai Rp 130.000 per kilogram (kg).
Nursyam Triatnani (45), warga Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, mengurangi belanja daging sejak Desember 2020. Dia melihat harga daging sapi saat itu berkisar Rp 120.000 per kg dan daging ayam sekitar Rp 30.000 per kg di Pasar Palmerah, Jakarta Barat. Karena harga itu, dia mengurangi jatah belanja daging hingga setengah atau seperempat kg untuk satu bulan.
”Saya sempat beli daging sapi pekan kemarin karena harus masak sup. (Daging) itu harganya sangat mahal buat pengeluaran belanja saya sehari-hari, akhirnya saya hanya beli setengah kilogram atau sekitar Rp 60.000,” jelasnya saat dihubungi, Rabu siang.
Karena harga seluruh bahan masakan juga sedang tinggi, Nursyam berencana menyesuaikan belanja bahan pokok harian. Dia menilai uang belanja harian berkisar Rp 50.000 sampai Rp 100.000 setiap hari tidak akan cukup untuk membeli produk daging, telur, cabai, dan beberapa produk sayur yang sedang naik harga. Strategi yang sudah berjalan saat ini adalah pengurangan belanja daging setiap bulan.
Dede Irma (50), warga Grogol Petamburan, Jakarta Barat, juga mengaku lebih jarang belanja daging ayam atau sapi selama pandemi. Hal ini lantaran uang belanja senilai Rp 50.000 per hari tidak cukup untuk membeli beberapa bahan pokok sekaligus. Belanja cabai dan lauk kerap disesuaikan dengan batas uang belanja tersebut.
”Saya sekarang mengurangi belanja cabai merah jadi cuma Rp 10.000, dapatnya sekitar segenggam tangan. Sisanya bisa dibuat beli sayur lain. Belanja lauknya ayam atau kadang cari ikan nila yang masih terjangkau sama pengeluaran sehari-hari,” tuturnya.
Sementara itu, tingginya harga bahan pokok membuat Kunaenah (52) memasak lauk secara terbatas. Selama pandemi, dia hanya bisa belanja lauk tahu, tempe, telur, dan ikan asin untuk sehari-hari. Apabila tidak mendapat bantuan sosial bahan pokok rutin, warga Tanah Abang, Jakarta Pusat, ini hanya bisa mengandalkan lauk seadanya untuk keluarga di rumah. ”Kalau saya memaksa beli daging, nanti malah enggak terbeli kebutuhan yang lain. Mau diapain lagi, syukuri saja apa yang sudah didapat sekarang,” ungkapnya.
Rabu ini, sejumlah pedagang daging sapi di pasar tradisional mogok berjualan akibat kenaikan harga terus-menerus. Pantauan Kompas, lapak penjualan daging di Pasar Tomang Barat dan Pasar Blok G Tanah Abang, Jakarta, tampak sepi dari kehadiran pedagang.
Midun (32), pedagang daging di Pasar Tomang Barat, mogok berjualan setelah adanya pemberitahuan dari Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI). Semua pedagang daging sapi di Jakarta berencana mogok berjualan hingga tiga hari ke depan. Hal ini pun terlihat dari pengumuman yang telah dipasang oleh para pedagang di sana.
”Sekitar 12 lapak kios daging sapi di sini tutup hingga tiga hari ke depan. Saya dan teman-teman tidak sanggup terus berjualan dengan margin harga (daging) yang sangat tipis. Margin tersebut bahkan tidak menutup operasional kami sehari-hari selama pandemi,” ujar Midun.
Ali Akbar (29), pedagang lainnya, mengatakan, harga daging sapi selama pandemi naik sedikit demi sedikit dalam hitungan ribuan rupiah. Memasuki momen Natal tahun 2020, harga daging sempat naik hingga Rp 120.000 per kg. Selama kenaikan harga itu, Ali dan teman pedagang lain hanya mendapat keuntungan tipis sekitar Rp 5.000 per kg, bahkan kadang keuntungannya kurang dari itu.
Sekretaris APDI DKI Jakarta Tubagus Mufti Bangkit Sanjaya sebelumnya menuturkan, pedagang tidak tahan lagi dengan harga daging sapi saat ini. Menurut data APDI Jakarta, harga karkas adalah Rp 80.000 per kg pada pertengahan 2020. Per Desember 2020 rentang harganya menjadi Rp 92.000-Rp 96.000 per kg, belum ditambah biaya pemotongan dan pemisahan daging dari tulang. Sementara harga eceran di pasar ialah Rp 120.000 per kg (Kompas, 19/1/2021).
Apabila dihitung pada pendapatan pedagang daging, margin yang mereka peroleh adalah Rp 1.000-Rp 2.000 untuk per kg. Jumlah ini tidak bisa menutupi biaya operasional, gaji pegawai, dan kebutuhan sehari-hari. Pedagang juga tidak bisa menaikkan harga karena mereka terikat komitmen harga eceran tertinggi dari pemerintah.
”Untuk setiap ekor karkas, pedagang bisa menanggung rugi sampai Rp 700.000 per hari. Hulu masalahnya dari keputusan Australia mengubah sistem penjualan sapi hidup,” ucap Mufti.
Ia menjelaskan, biasanya Australia menjual sapi hidup seharga 4 dollar Australia per kg ke Indonesia. Sekarang mereka mengubah sistem dengan cara menjual sapi kepada negara yang mampu membeli dengan harga tertinggi. Vietnam dan Thailand menyatakan mampu membeli seharga paling rendah 5 dollar Australia per kg akibatnya standar ini menjadi patokan harga baru dan membuat para pedagang di Tanah Air menjerit.
Dengan harga saat ini, pedagang dan warga sama-sama menjerit. Dalam kondisi tersebut pula, sebagian warga masih akan menahan pengeluaran belanja hingga waktu yang belum ditentukan.