Energi Terbarukan Dikembangkan, Kilang Tetap Dibangun
Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di masa mendatang terus meningkat. Selain tetap mengoptimalkan energi terbarukan, program pembangunan kilang baru dilanjutkan untuk mengurangi impor BBM.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berkomitmen tetap membangun kilang baru dan meningkatkan kapasitas kilang yang ada kendati program pengembangan energi terbarukan di dalam negeri terus didorong. Peningkatan kapasitas kilang diperlukan untuk mengurangi laju impor bahan bakar minyak yang diperkirakan konsumsi terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, tantangan besar adalah bagaimana menaikkan produksi minyak mentah di dalam negeri.
Dalam skenario ketahanan energi nasional, pembangunan kilang menjadi salah satu indikator indeks ketahanan energi Indonesia. Indonesia masih bergantung pada impor bahan bakar minyak (BBM) lantaran kemampuan produksi dari kilang yang terbatas. Dari kebutuhan BBM nasional yang mencapai 1,5 juta barel per hari, separuhnya diperoleh dari impor.
Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto, dengan pembangunan kilang baru dan peningkatan kapasitas empat kilang milik PT Pertamina (Persero), impor BBM diharapkan bisa turun, bahkan menjadi nol. Impor BBM menjadi nol ditargetkan bisa terjadi pada 2030 ketika proyek kilang baru dan peningkatan kapasitas kilang tuntas seluruhnya pada 2027. Catatannya, pada 2030 target produksi minyak 1 juta barel per hari bisa terealisasi.
”Selain itu, harus didorong juga pengembangan kendaraan listrik di dalam negeri, pengoptimalan bahan bakar biodiesel, serta konversi kendaraan yang mengonsumsi BBM ke gas. Apabila semua itu terwujud, Indonesia bisa menghemat devisa 16,8 miliar dollar AS per tahun pada periode 2021 sampai 2040 mendatang,” kata Djoko dalam webinar bertajuk ”Indonesian Refinery Outlook”, Kamis (21/1/2021).
Dengan pembangunan kilang baru dan peningkatan kapasitas empat kilang milik Pertamina, diharapkan impor BBM bisa turun, bahkan menjadi nol.
Kilang baru yang akan dibangun Pertamina berlokasi di Tuban, Jawa Timur, dengan kapasitas 300.000 barel per hari. Kilang tersebut akan diintegrasikan dengan produksi petrokimia serta menghasilkan BBM berstandar Euro 5. Pertamina menargetkan pembangunan kilang baru tersebut, yang menggandeng mitra dari Rusia, yakni Rosneft, bisa tuntas di 2026.
”Adapun untuk program peningkatan kapasitas kilang (refinery development masterplan project/RDMP), hanya pada Kilang Balikpapan di Kalimantan Timur dan Kilang Balongan di Jawa Barat yang kapasitas produksinya ditingkatkan,” ujar Vice President Strategic Planning PT Kilang Pertamina Internasional Prayitno.
Kilang Balikpapan akan meningkat produksinya dari 200.000 barel per hari menjadi 360.000 barel per hari, sedangkan Kilang Balongan naik dari 125.000 barel per hari menjadi 150.000 barel per hari. RDMP Kilang Balikpapan direncanakan tuntas pada 2025 dan Kilang Balongan selesai di 2022. Program RDMP lainnya ada di Kilang Dumai, Riau; Kilang Plaju di Sumatera Selatan; dan Kilang Cilacap di Jawa Tengah.
Sementara itu, menurut Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (Ikabi) Tatang Hernas Soerawidjaja, pembangunan kilang harus mempertimbangkan jalur distribusi atau logistik. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, distribusi BBM di Indonesia disebut yang paling kompleks di dunia. Dengan situasi tersebut, Indonesia lebih cocok membangun kilang mini yang tersebar di titik-titik tertentu.
”Lebih cocok apabila membangun kilang mini dengan kapasitas produksi maksimum 20.000 barel per hari, ketimbang membangun kilang besar berkapasitas minimum 100.000 barel per hari di satu titik,” ujar Tatang.
Dengan situasi tersebut, Indonesia lebih cocok membangun kilang mini yang tersebar di titik-titik tertentu.
Tatang beralasan, dengan membangun kilang mini yang lokasinya tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia, hal itu dapat menghemat biaya pengangkutan. Selain itu, kilang mini juga cocok untuk diintegrasikan dengan produksi bahan bakar nabati, khususnya dari minyak kelapa sawit (CPO). Kilang mini juga dapat meningkatkan kemandirian daerah dalam hal penyediaan bahan bakar, serta menyerap tenaga kerja lokal.
Menurut data Pertamina, impor minyak mentah pada 2019 tercatat 87 juta barel dengan nilai 5,72 miliar dollar AS. Impor BBM di tahun yang sama tercatat 128,42 juta barel senilai 8,87 miliar dollar AS. Adapun impor elpiji sebanyak 5,84 juta ton senilai 2,72 miliar dollar AS.
Pengurangan impor minyak mentah, BBM, serta elpiji ditempuh dengan cara memulai proyek gasifikasi batubara yang dikerjakan PT Bukit Asam Tbk dengan mitra Pertamina dan Air Product dari Amerika Serikat. Proyek tersebut akan menghasilkan dimetil eter (DME) sebagai pengganti elpiji. Produksi yang direncanakan bisa dimulai pada 2024 adalah 1,4 juta ton DME per tahun dengan kebutuhan batubara sebanyak 6 juta ton per tahun.
Strategi lainnya adalah dengan mengembangkan kendaraan listrik untuk mengurangi konsumsi BBM. Selain itu, pemerintah juga mendorong pemanfaatan biodiesel sebagai bahan campuran solar untuk menghasilkan produk BBM yang disebut dengan B-30. Pemerintah juga menargetkan produksi minyak dalam negeri sebanyak 1 juta barel per hari di 2030.