DPR mendorong pemerintah mengadakan program vaksin mandiri dengan sejumlah catatan. Namun, pemerintah menegaskan, program vaksin mandiri bukan prioritas pemerintah saat ini.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah membuka peluang pelaksanaan vaksinasi Covid-19 mandiri secara berbayar. Namun, pemerintah saat ini masih memprioritaskan vaksinasi gratis bagi masyarakat. Keterlibatan swasta sejauh ini sebatas membantu distribusi vaksin, bukan untuk mengimpor atau menjual vaksin secara komersial.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, Rabu (20/1/2021), mengatakan, meskipun Presiden Joko Widodo sudah mengambil keputusan untuk menggratiskan vaksin bagi masyarakat, pemerintah tidak menutup mata bahwa vaksin mandiri tetap diperlukan.
”Di komite sudah ada rapat-rapat, apakah vaksin itu gratis semua, gratis mayoritas, atau mandiri? Tentu vaksin mandiri bukan prioritas. Vaksin gratis adalah prioritas utama untuk menolong masyarakat. Tetapi, kita tidak bisa tutup mata, vaksin mandiri ini juga diperlukan,” ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, yang ditayangkan secara virtual.
Tentu vaksin mandiri bukan prioritas. Vaksin gratis adalah prioritas utama untuk menolong masyarakat.
Menurut Erick, pemerintah saat ini masih mengkaji vaksin mandiri, termasuk syarat dan ketentuan pelaksanaan program vaksin berbayar itu. Rencana program vaksin mandiri ini juga sudah dibicarakan dengan DPR, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Badan Pemeriksa Keuangan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dari hasil pembicaraan lintas lembaga itu, ada beberapa poin yang mengemuka. Pertama, jika program vaksin mandiri dibuka, mereknya harus berbeda jenis dengan vaksin yang dibagikan gratis. Kedua, vaksinasi mandiri harus dilakukan belakangan setelah pelaksanaan vaksinasi gratis.
Erick menambahkan, vaksin yang kemungkinan dipakai pemerintah untuk vaksinasi gratis adalah Sinovac (China), AstraZeneca (Inggris), serta bantuan dari Covax/GAVI yang menyuplai vaksin AstraZeneca dan Pfizer (Amerika Serikat). Pemerintah telah membeli 3 juta dosis vaksin jadi Sinovac, menyepakati suplai 50 juta dosis AstraZeneca, dan mendapat komitmen suplai awal vaksin 54 juta dosis dari Covax/GAVI.
”Ketika nanti di satu titik ada merek lain tiba-tiba tersedia, kalau berbeda dengan yang gratis, kenapa kita tidak agresif untuk mencapai vaksinasi 80 persen? Yang pasti, semua bergantung pada ketersediaan vaksin. Kita tidak bisa gegabah kalau stok tidak ada. Tidak mungkin mengambil stok vaksin gratis yang ada sekarang,” kata Erick.
Pemerintah akan mengalokasikan dana Rp 73 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 untuk membeli total 426,8 juta dosis vaksin bagi 182 juta rakyat Indonesia.
Direktur Utama PT Bio Farma Honesti Basyir mengatakan, negosiasi dengan merek lain, seperti Pfizer, sampai sekarang masih berlangsung. Ada 50 juta dosis vaksin dari Pfizer yang targetnya bisa disepakati pekan depan. Sementara negosiasi dosis dan harga dengan Moderna dan Sinopharm belum dimulai sama sekali.
Program vaksin mandiri dan keterlibatan swasta untuk pengadaan vaksin merupakan salah satu isu yang paling banyak ditanyakan anggota Komisi VI DPR dalam rapat kerja. DPR mendorong pemerintah mengadakan program vaksin mandiri dengan catatan pendataan pemerintah dan swasta harus terintegrasi, batas tarif tertinggi vaksin ditetapkan, dan pelaksanaan impor diawasi ketat.
Awalnya, draf kesimpulan rapat juga memberikan catatan agar pihak penyedia vaksin mandiri kelak tidak berorientasi pada keuntungan komersial (profit-oriented). Namun, catatan itu kemudian dihapus atas permintaan anggota DPR yang hadir.
DPR mendorong pemerintah mengadakan program vaksin mandiri dengan catatan pendataan pemerintah dan swasta harus terintegrasi, batas tarif tertinggi vaksin ditetapkan, dan pelaksanaan impor diawasi ketat.
Keterlibatan swasta dalam vaksin mandiri pertama kali diusulkan Kamar Dagang dan Industri Indonesia serta Asosiasi Pengusaha Indonesia. Swasta minta dilibatkan dalam proses impor dan distribusi vaksin, baik untuk karyawan masing-masing maupun untuk dijual secara komersial ke masyarakat yang mampu.
Keikutsertaan pengusaha itu bertujuan meringankan beban anggaran pemerintah, sekaligus mempercepat proses vaksinasi dan mengakselerasi pemulihan ekonomi (Kompas, 19/1/2021).
Erick mengatakan, pemerintah masih berhati-hati mengambil keputusan. Kejadian seperti harga tes usap PCR yang melambung tinggi di pasaran tidak ingin diulangi lagi. Apalagi, mengingat vaksin tidak bisa sembarangan disuntikkan sehingga otorisasi pelaksanaan vaksinasi pun tidak bisa sebebas tes usap.
Untuk saat ini, masih sulit untuk melakukan vaksinasi mandiri atau mengizinkan swasta melakukan pengadaan sendiri. ”Kalau tes usap PCR tidak ada risiko. Kita dites, kita tahu (hasilnya). Tetapi, vaksin ini sesuatu yang masuk ke tubuh kita dan ada risiko efek samping. Itu yang harus dipastikan,” katanya.
Pemerintah masih berhati-hati mengambil keputusan. Kejadian seperti harga tes usap PCR yang melambung tinggi di pasaran tidak ingin diulangi lagi.
Honesti menyatakan, Bio Farma saat ini memiliki 48 cabang gudang penyimpanan bersama Kimia Farma dan Indo Farma yang tersebar di seluruh Indonesia. Fasilitas yang sudah terintegrasi dengan sistem pengawasan secara digital dari produksi sampai distribusi itu bisa dipakai untuk mengontrol distribusi jika kelak konsep vaksin mandiri akan dilaksanakan.
Secara terpisah, Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk Vidjongtius menuturkan, peran swasta untuk sementara ini cukup di area distribusi dan pelaksanaan vaksinasi. Vaksinasi sebagai program nasional yang gratis untuk seluruh masyarakat harus dikerjakan terlebih dahulu.
”Supaya tidak terjadi hambatan (bottleneck), sinkronisasi pemerintah-swasta ini bisa mempercepat proses vaksinasi di lapangan,” katanya.
Peluang swasta mengimpor dan menjual vaksin secara mandiri masih ada, tetapi itu di masa mendatang setelah tahapan awal vaksinasi gratis selesai.
Menurut dia, peluang swasta mengimpor dan menjual vaksin secara mandiri masih ada, tetapi itu di masa mendatang setelah tahapan awal vaksinasi gatis selesai. ”Peluang masih ada jika nanti ada kebutuhan vaksinasi tahap lanjutan. Mengingat belum ada juga data final soal berapa lama vaksin bisa bertahan di tubuh kita. Jadi, kita masih perlu menganalisis data hasil monitoring pascavaksin itu,” ujarnya.