Pandemi Covid-19 masih menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Proteksi pun dibutuhkan untuk mengatasi risiko sakit hingga, yang terburuk, meninggal dunia.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Proteksi pun dibutuhkan untuk mengatasi risiko sakit hingga, yang terburuk, meninggal dunia.
Penasihat keuangan sekaligus pendiri Oneshildt Financial Planning, Risza Bambang, saat di hubungi pada Jumat (22/1/2021) mengatakan, risiko kesehatan dan kematian menjadi penyakit keuangan, selain kebutuhan dana. Obat dari risiko itu adalah asuransi.
”Risiko yang tidak kita inginkan, misalnya, kecelakaan atau sakit yang datangnya tiba-tiba. Obatnya bukan tabungan atau investasi, melainkan proteksi atau asuransi. Hanya asuransi yang bisa beri jaminan, kita baru bayar 1 perak, misalnya, kalau ada risiko bisa dapat 10 perak,” katanya.
Di masa wabah ini, asuransi jiwa dan kesehatan pun dinilai perlu jadi pegangan. Hal ini mengingat adanya risiko berobat, bahkan meninggal, jika Covid-19 menginfeksi. Apalagi, angka penambahan kasus infeksi dan meninggal harian di Indonesia semakin mengkhawatirkan.
Hingga siang hari ini, ada penambahan 13.632 kasus positif. Jumlah itu membuat kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 965.283 orang, dengan kasus aktif berada di angka 156.683 kasus. Adapun jumlah korban meninggal bertambah 250 orang dan membuat total kasus kematian akibat covid-19 mencapai 27.453 orang.
Mengetahui situasi tersebut, karyawan swasta di Jakarta, Ratna Puspitasari (42), memutuskan mempersiapkan dirinya dan keluarga terdekat apabila terinfeksi. Selain rajin mencari tahu dan menyimpan kontak hotel yang menerima isolasi mandiri dan nomor dokter untuk konsultasi, ia kini juga sudah memegang asuransi yang bisa menjamin biaya pengobatan Covid-19.
”Kalau kena Covid-19, biayanya mahal. Teman saya habis hampir Rp 100 juta untuk biaya rawat inap isolasi dan biaya dokter spesialis. Itu pun katanya sudah ada diskon. Kalau saya yang kena dan saya enggak punya asuransi, bisa-bisa jatuh miskin,” katanya.
Keraguan
Berbeda dengan Ratna, ibu rumah tangga bernama Mellizia (30) masih ragu mengeluarkan uang untuk membayar premi asuransi kesehatan. Sejak suaminya mengalami pengurangan gaji beberapa bulan lalu, ia harus memperketat pengeluaran rumah tangga.
”Sebenarnya saya tahu asuransi penting. Namun, saya belum tertarik untuk mencari tahu produk asuransi kesehatan atau jiwa mana yang enggak ngebebanin keuangan,” ujarnya.
Survei perusahaan konsultan pemasaran Markplus menunjukkan, masyarakat yang menilai asuransi penting menurun. Pada triwulan II-2020, 52 persen responden menganggap produk asuransi sangat penting. Namun, triwulan berikutnya hanya 36 persen yang menjawab sama.
Survei tersebut dilakukan kepada 115 responden di seluruh Indonesia. Dari seluruh responden yang disurvei, 66 persen di antaranya sudah memiliki produk asuransi dan 34 persen belum punya.
Adapun alasan responden belum memiliki asuransi mayoritas karena faktor keuangan yang belum mencukupi (54 persen) dan merasa belum butuh (39 persen). Ada juga yang mengaku masih minim pengetahuan mengenai produk asuransi (21 persen), khawatir soal proses klaim (21 persen), hingga karena faktor pengalaman buruk (10 persen).
Dari seluruh responden, 41 persen mengaku masih ikhlas mengalokasikan 5-10 persen gaji bulanannya untuk asuransi, disusul 0-5 persen gaji bulanan (31 persen), dan 10-15 persen gaji bulanan (17 persen).
Inovasi
Untuk meningkatkan minat masyarakat memproteksi diri dengan asuransi, Risza menyarankan agar perusahaan asuransi membuat produk yang mudah dibeli dan dipelajari. Penggunaan teknologi digital, yang mulai diadaptasi industri asuransi, jadi solusinya.
”Inovasi penjualan asuransi lewat aplikasi digital atau penjualan langsung akan lebih memudahkan karena mengurangi intervensi agen. Tanpa agen, biaya premi akan terasa lebih murah,” kata Risza.
Ia juga menyarankan agar perusahaan lebih banyak mengeluarkan produk proteksi murni. Asuransi murni, seperti untuk sakit, kecelakaan, sakit kritis, dan kematian, dinilai lebih dibutuhkan untuk menghadapi Covid-19. Namun, tantangannya adalah masyarakat cenderung tidak menyukai ”premi gosong”.
Premi gosong terjadi saat asuransi baru bisa diklaim ketika risiko terjadi, sementara nasabah harus tetap rutin membayar premi kendati risiko tidak terjadi.