Tantangan keterjangkauan produk keuangan syariah diharapkan bisa terjawab lewat kehadiran Bank Syariah Indonesia, hasil merger tiga bank BUMN syariah.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbaikan indikator ekonomi syariah di dalam negeri menjadi momentum untuk mengakselerasi produk ekonomi dan keuangan syariah agar lebih terjangkau masyarakat. Upaya ini bisa menekan kesenjangan ekonomi.
Jangkauan produk ekonomi dan keuangan syariah hingga ke usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Berdasarkan laporan State of The Global Islamic Economy Report 2020 yang diluncurkan pada akhir tahun lalu, RI menduduki peringkat ke-4 negara dengan nilai industri halal terbesar di dunia. Posisi Indonesia di bawah Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Laporan yang disusun lembaga internasional keuangan syariah, DinarStandard, tersebut menjadi tolok ukur atau referensi pengembangan ekonomi syariah global.
RI menduduki peringkat ke-4 negara dengan nilai industri halal terbesar di dunia.
Dalam laporan tersebut, industri mode, keuangan syariah, dan pariwisata merupakan tiga sektor yang memiliki peluang ekspor terbesar bagi Indonesia. Adapun sektor makanan, farmasi, dan kosmetika masih perlu ditingkatkan untuk masuk dalam pasar global.
Laporan itu menyebutkan, sebanyak 1,9 miliar Muslim membelanjakan 2,02 triliun dollar AS pada 2019 untuk mode, perjalanan, makanan, farmasi, kosmetika, serta media dan rekreasi.
Peneliti ekonomi syariah dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fauziah Rizki Yuniarti, mengatakan, gerak cepat diperlukan agar Indonesia tidak kehilangan momentum mendorong pertumbuhan industri keuangan syariah di dalam negeri.
”Para pemangku kepentingan keuangan syariah perlu melihat urgensi pengembangan produk ekonomi syariah di Indonesia agar bisa menjangkau pelaku ekonomi bawah, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah dan UMKM,” ujarnya, Minggu (24/1/2021).
Model perekonomian syariah, dinilai Fauziah, lebih menguntungkan bagi masyarakat pelaku UMKM. Sebab, pendanaan berbasis ekuitas dalam prinsip bagi hasil mudharabah dan musyarakah pada perbankan syariah bersifat transparan dan tidak membebani UMKM, khususnya di tengah pandemi.
Gerak cepat diperlukan agar Indonesia tidak kehilangan momentum mendorong pertumbuhan industri keuangan syariah di dalam negeri.
Tantangan jangkauan layanan keuangan syariah diharapkan bisa diatasi melalui Bank Syariah Indonesia, hasil merger tiga bank badan usaha milik negara (BUMN) syariah. Ketiga bank BUMN syariah itu ialah PT Bank BRIsyariah Tbk, PT Bank BNI Syariah, dan PT Bank Syariah Mandiri.
Bank Syariah Indonesia menempatkan UMKM sebagai prioritas serta tetap menggarap segmen korporasi, perusahaan BUMN, dan swasta.
Project Management Office Integrasi dan Peningkatan Nilai Bank Syariah BUMN sekaligus Direktur Utama Bank Syariah Indonesia Hery Gunardi, pekan lalu, memastikan UMKM akan tetap menjadi prioritas Bank Syariah Indonesia.
Hingga September 2020, pembiayaan UMKM yang disalurkan ketiga bank syariah BUMN itu mencapai Rp 36,36 triliun. Nilai itu terdiri dari pembiayaan UMKM dari Bank BRISyariah sebesar Rp 18,7 triliun, Bank Syariah Mandiri Rp 11,67 triliun, dan Bank BNI Syariah Rp 5,99 triliun.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) Ronald Yusuf Wijaya berharap kehadiran Bank Syariah Indonesia berdampak pada kemudahan usaha rintisan teknologi finansial di sektor pendanaan syariah meraih pendanaan.
Ia mengakui, platform tekfin syariah murni belum memiliki faktor komersial yang menjadi daya tarik bagi investor. ”Biasanya ada dua hal yang disorot investor, yakni rasio ekonomi syariah Indonesia masih kecil sekali dan kesiapan infrastruktur masih banyak rintangan untuk cepat tumbuh,” ujarnya.
Platform tekfin syariah murni belum memiliki faktor komersial yang menjadi daya tarik bagi investor.
Rantai pasok
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menyampaikan, untuk mendukung industri halal, Pemerintah RI perlu mereformasi efisiensi rantai pasok domestik agar produk halal dalam negeri tidak lebih mahal daripada produk impor. ”RI cenderung masih menjadi pasar produk-produk halal tersebut. Bukannya menjadi produsen yang memproduksi dan menguasai pasar di industri halal domestik,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Ventje Rahardjo Soedigno menyampaikan, pemerintah berupaya mengembangkan ekosistem ekonomi syariah dan industri halal secara seimbang.
Upaya tersebut tercantum dalam rencana inti Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024, yakni pengembangan industri halal, keuangan, dana sosial, dan perluasan kegiatan usaha syariah. (DIM)