Untuk memitigasi risiko dan dampak buruk kegiatan usaha, pemerintah daerah mesti dilibatkan dalam proses analisis. Sistem pengawasan yang kuat akan dibangun.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko mesti mengedepankan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial inklusif, dan tata kelola pemerintahan yang baik. Keterlibatan pemerintah daerah dalam setiap proses analisis dan penentuan tingkat risiko akan menghindarkan potensi dampak kerusakan lingkungan dan masalah sosial.
Analis Kebijakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman, Selasa (26/1/2021), mengatakan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko belum mengatur peran pemerintah daerah menganalisis dan menentukan tingkat risiko di daerahnya.
Padahal, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menerbitkan izin bagi pelaku usaha.
”Daerah harus dilibatkan sejak proses analisis tingkat risiko. Hal ini bisa memitigasi risiko dan dampak buruk dari kegiatan usaha, khususnya terhadap kehidupan sosial dan lingkungan sekitar,” kata Armand dalam diskusi virtual.
Daerah harus dilibatkan sejak proses analisis tingkat risiko.
Karakteristik alam dan kehidupan sosial di setiap daerah berbeda-beda. Maka, hasil analisis tingkat risiko tidak bisa dipukul rata untuk jenis usaha yang sama di daerah berbeda. Pihak yang paling memahami kondisi dan karakteristik daerah adalah pemerintah daerah dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat.
UU Cipta Kerja mengubah rezim perizinan berusaha dari berbasis izin biasa menjadi perizinan usaha berbasis risiko. Untuk menyederhanakan perizinan berusaha di Indonesia, tidak semua jenis kegiatan usaha memerlukan izin dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) untuk beroperasi.
Setiap jenis kegiatan usaha, mengacu pada kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLI) yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, akan ditakar analisis risikonya. Usaha dengan tingkat risiko rendah bisa langsung beroperasi dengan mengurus nomor induk berusaha (NIB).
Usaha risiko menengah perlu NIB dan sertifikat standar deklarasi komitmen pengusaha untuk beroperasi sesuai standar. Adapun izin usaha kegiatan dengan tingkat risiko menengah-tinggi harus melalui proses tambahan berupa verifikasi NIB dan sertifikat standar.
Usaha dengan risiko tinggi baru bisa beroperasi setelah NIB dan sertifikat standarnya terverifikasi serta memperoleh perizinan amdal. Setiap kriteria risiko ditetapkan dengan menimbang aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, keterbatasan sumber daya, aspek sosial, dan risiko lainnya.
Armand mengatakan, keterlibatan masyarakat merupakan aspek penting dalam implementasi izin usaha berbasis risiko. Keputusan pemerintah menyediakan bagian khusus untuk pengaduan masyarakat dalam sistem pelayanan informasi sudah tepat. Namun, untuk memastikan pengaduan dan masukan masyarakat itu ditindaklanjuti, RPP harus secara tegas mencantumkan batas waktu tanggapan pemerintah.
”Supaya ada batas waktu bagi pemerintah untuk menindaklanjuti dan merespons pengaduan masyarakat,” katanya.
Keterlibatan masyarakat merupakan aspek penting dalam implementasi izin usaha berbasis risiko.
Peletakan dasar regulasi izin berusaha yang tegas dan detail penting untuk menopang misi transformasi ekonomi Indonesia menjadi ekonomi hijau yang ramah lingkungan, inklusif, dan berkelanjutan.
Pembangunan sistem
Staf Ahli Bidang Pengembangan Produktivitas dan Daya Saing Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Lestari Indah mengatakan, izin usaha–sejak penerbitan izin hingga pengawasan–terkoordinasi melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS).
Pemerintah memperkirakan, perlu waktu empat bulan untuk membangun keseluruhan sistem dan infrastruktur. Dengan demikian, pada Juli 2021, empat bulan setelah seluruh RPP Cipta Kerja diundangkan pada Februari 2021, sistem perizinan usaha berbasis risiko yang terintegrasi dengan OSS siap diluncurkan di sejumlah daerah.
”Sebelum sistem selesai dibangun, selama empat bulan itu konsep perizinan yang berlaku tetap yang lama,” katanya.
Lestari menambahkan, untuk menyeimbangkan pemberian izin yang dipermudah, pemerintah akan membangun sistem pengawasan yang kuat. Dalam empat bulan itu, sumber daya manusia di tingkat pusat dan daerah akan dibenahi, sistem pengawasan dan pembinaan juga akan dibangun dan diperkuat.
”Kita harus memastikan pelaku usaha yang mendapat izin benar-benar melakukan kegiatan usaha sesuai standar. Bukan hanya sistem, kita juga harus membina perilaku, baik pola pikir aparatur sipil negara di pusat dan daerah, maupun pola pikir pengusaha,” ujarnya.
Lestari mengatakan, RPP tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko masih dalam tahap finalisasi penyusunan konsep dasar draf. Selain isu substansi, tantangan yang dihadapi pemerintah adalah RPP yang tebal, bahkan bisa lebih dari 20.000 halaman.
Kita harus memastikan pelaku usaha yang mendapat izin benar-benar melakukan kegiatan usaha sesuai standar.
Terkait perkembangan pembahasan rancangan peraturan turunan UU Cipta Kerja, dari 39 RPP, tinggal empat RPP yang drafnya belum rampung dan diunggah ke portal uu-ciptakerja.go.id. Salah satunya, RPP tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah masih menyelesaikan proses harmonisasi berbagai aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja di Kemenkumham. Targetnya, pada 2 Februari 2021, semua RPP sudah selesai dan ditandatangani Presiden.