Seiring peningkatan jumlah saham syariah, kapitalisasi pasar syariah mencapai Rp 3.500 triliun. Kapitalisasi pasar saham di BEI per Kamis (4/2/2021) sebesar Rp 7.190 triliun.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan pasar modal berbasis syariah membuka alternatif investasi bagi investor di tengah upaya pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Ruang pertumbuhan investor berlanjut seiring perkembangan kapitalisasi pasar modal syariah.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi menyebutkan, pasar modal syariah dalam negeri tumbuh dalam 5 tahun terakhir. Pertumbuhan yang pesat itu tecermin dari penambahan jumlah saham syariah hingga 33 persen, dari 318 saham syariah pada akhir 2015 menjadi 426 saham syariah per 22 Januari 2021. Jumlah itu sekitar 60 persen dari seluruh saham yang tercatat di BEI.
”Hal ini menjadi salah satu indikator yang menjadikan industri pasar modal syariah Indonesia masuk dalam kategori terbaik di dunia,” ujarnya dalam pengenalan PT Bank Syariah Indonesia Tbk sebagai emiten baru di BEI, Kamis (4/2/2021).
Berdasarkan definisi BEI, saham syariah adalah efek berbentuk saham yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Ada dua jenis saham syariah yang diakui di pasar modal Indonesia, yakni, pertama, saham yang memenuhi kriteria syariah berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 35/POJK.04/2017. Kedua, saham yang diterbitkan perusahaan publik yang memenuhi kriteria syariah sesuai peraturan OJK Nomor 17/POJK.04/2015.
Inarno menambahkan, seiring dengan peningkatan jumlah saham syariah, kapitalisasi pasar syariah mencapai Rp 3.500 triliun. Kapitalisasi pasar saham di BEI per Kamis sebesar Rp 7.190 triliun.
Per Desember 2020, sebanyak 85.861 investor domestik pada instrumen saham syariah tercatat pada sistem identifikasi investor tunggal (SID). Jumlah ini sekitar 5,5 persen dari total investor di Indonesia.
”Artinya, ruang pertumbuhan investor syariah domestik masih besar sekali. Tahun lalu, dari pencatatan 51 saham baru, 38 saham di antaranya termasuk dalam kriteria saham syariah,” kata Inarno.
Ruang pertumbuhan investor syariah domestik masih besar sekali.
Inarno berharap kehadiran Bank Syariah Indonesia, sebagai entitas hasil penggabungan usaha tiga bank syariah BUMN, di pasar modal mendorong kemajuan keuangan syariah nasional. Bank Syariah Indonesia juga diharapkan memperkuat aset dan kapitalisasi industri pasar modal syariah Indonesia.
Pada penutupan perdagangan Kamis sore, saham Bank Syariah Indonesia dengan kode saham BRIS di level Rp 2.680 per lembar saham dengan kapitalisasi pasar Rp 109,96 triliun. Sejak awal Januari hingga pedagangan terakhir, nilai saham BRIS melejit 742,77 persen.
Berdasarkan data BEI, indeks 30 saham syariah unggulan yang tergabung dalam Jakarta Islamic Index (JII) sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan Kamis, menguat 0,76 persen ke level 506,11. Hal ini sejalan dengan penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sebesar 2,14 persen ke level 6.107,21.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyampaikan, per November 2020, total aset keuangan syariah Indonesia (tidak termasuk saham syariah) mencapai Rp 1.770,32 triliun. Nilai itu terdiri dari perbankan syariah Rp 592,35 triliun, industri keuangan nonbank Rp 113,16 triliun, dan pasar modal syariah Rp 1.063,81 triliun.
Nilai penerbitan sukuk korporasi dan sukuk negara per 20 November 2020 masing-masing Rp 31,63 triliun dan Rp 960,38 triliun. Sementara total aktiva bersih reksa dana syariah Rp 71,8 triliun.
”Namun, pangsa pasar keuangan syariah masih relatif rendah, yaitu 9,9 persen. Angka ini masih jauh dari harapan 20 persen,” ujarnya.
Menurut Wimboh, pangsa pasar yang masih rendah antara lain dipengaruhi pertumbuhan ekonomi yang secara mayoritas masih didorong keuangan konvensional. Di sisi lain, literasi keuangan syariah masih rendah, yakni 8,93 persen, jauh tertinggal dari literasi keuangan nasional 38,03 persen. Adapun inklusi keuangan syariah 9,1 persen juga tertinggal dari inklusi keuangan nasional 76,19 persen.
”Ini semua karena umat masyarakat ekonomi syariah lebih banyak di daerah-daerah yang mungkin belum tersentuh oleh edukasi dan literasi. Hal ini jadi tantangan kita bersama,” ujar Wimboh.
Dihubungi terpisah, analis PT BRI Danareksa Sekuritas, Muhammad Naufal Yunas, menilai investasi berbasis syariah masih memiliki pangsa pasar cukup besar di Indonesia. Ia memperkirakan saham-saham syariah masih memiliki prospek cerah karena mayoritas berasal dari sektor yang cukup berdaya tahan.
Investasi berbasis syariah masih memiliki pangsa pasar cukup besar di Indonesia.
Namun, sejumlah sentimen, terutama terkait Covid-19 dan data pemulihan ekonomi, masih akan menyebabkan arus transaksi saham syariah tinggi, yang berdampak pada peningkatan volatilitas. Meski demikian, gejolak yang terjadi pada kelompok saham syariah dapat dimanfaatkan investor jangka panjang.
”Volatilitas bisa menjadi momentum bagi investor untuk berinvestasi di pasar saham syariah untuk berinvestasi pada saat harga saham terdiskon. Pasalnya, mayoritas emiten-emiten saham syariah ada pada sektor yang punya daya tahan terhadap dampak pandemi Covid-19,” ujarnya.