Perkuat dan Pertajam Strategi Atasi Risiko Ketidakpastian Ekonomi
Indonesia tetap perlu memperkuat dan mempertajam strategi mengelola risiko. Rancangan induk atau peta jalan mengatasi utang, arah dan bentuk investasi, serta serapan tenaga kerja diperlukan.
Oleh
hendriyo widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dana Moneter Internasional (IMF) menilai positif sinergi atau bauran kebijakan Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan imbasnya ke perekonomian nasional. IMF juga menyebutkan ekonomi Indonesia akan berangsur pulih.
Kendati begitu, Pemerintah Indonesia diharapkan tidak takabur, menyelaraskan program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) antara pusat dan daerah serta mencemati sejumlah risiko di bidang kesehatan dan ekonomi. Risiko-risiko itu, antara lain, lonjakan kasus Covid-19 di tengah vaksinasi, pembengkakan utang, serta bertambahnya pengangguran dan kemiskinan.
Dalam laporan Article IV Consultation tahun 2020 yang dirilis Rabu (3/3/2021), IMF menilai, memandang bauran kebijakan ditempuh secara kuat dan cepat oleh Indonesia sehingga dapat menopang pemulihan ekonomi. Kebijakan yang diambil Indonesia itu, antara lain, mencakup kebijakan pengendalian pandemi di sektor kesehatan, stimulus fiskal, kebijakan moneter akomodatif, pelonggaran kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial, serta berbagi beban (burden sharing) antara Bank Indonesia BI dan pemerintah.
IMF menyebutkan juga ekonomi Indonesia akan berangsur pulih mulai tahun ini. IMF memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 4,8 persen pada 2021 dan 6 persen pada 2022. Selain itu, pada 2021, inflasi juga akan meningkat bertahap dan masih terjaga menjadi 3 persen pada 2021, sedangkan defisit transaksi berjalan akan melebar menjadi 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Indonesia juga telah berupaya melanjutkan reformasi struktural melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan membentuk lembaga pengelola investasi bernama Indonesia Investment Authority (INA). Pemerintah Indonesia juga telah berkomitmen memberikan modal awal bagi INA sebesar Rp 15 triliun.
Ditambah dengan perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang mencakup perdagangan dan investasi, langkah-langkah ini akan menguntungkan Indonesia. ”Upaya-upaya konkret itu akan memperdalam akses keuangan, meningkatkan investasi, mempercepat proyek infrastruktur dan sektor prioritas lain, serta menghasilkan lapangan kerja,” kata Direktur Eksekutif IMF untuk Indonesia Alisara Mahasandana dalam siaran pers.
Upaya-upaya konkret itu akan memperdalam akses keuangan, meningkatkan investasi, mempercepat proyek infrastruktur dan sektor prioritas lain, serta menghasilkan lapangan kerja.
Selain itu, IMF juga meminta agar Indonesia mencermati risiko atas ketidakpastian yang masih terjadi mengingat pandemi Covid-19 dapat berlangsung lebih lama. Misalnya potensi kerentanan di sektor perbankan dan korporasi non-keuangan terkait kualitas aset, pengetatan kondisi keuangan global, serta perubahan iklim yang dapat mengganggu perekonomian dan menambah beban fiskal.
Seiring dengan beban pembiayaan program PC-PEN, utang Pemerintah Indonesia pada 2021 diperkirakan melebar menjadi 40,1 persen dari PDB. Kendati begitu, dalam skenario terburuk, utang Pemerintah Indonesia akan stabil di kisaran 48,4 persen dari PDB pada 2025.
Kementerian Keuangan mencatat, utang Pemerintah Indonesia per akhir Desember 2020 sebesar Rp 6.074,56 triliun. Jumlah ini naik Rp 1.296,56 triliun dalam setahun. Rasio utang pemerintah terhadap PDB pada 2020 menjadi 38,5 persen, naik dari 30,5 persen pada 2019. PDB Indonesia pada 2020 sebesar Rp 15.434,2 triliun.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, tentu menekan laju kasus Covid-19 di tengah vaksinasi menjadi yang utama. Sembari itu, pemerintah juga perlu menjaga agar bauran kebijakan yang telah digulirkan tetap sasaran dan terimplementasikan dengan baik. Begitu juga dengan program PC-PEN yang secara konsep dan desain sudah bagus, perlu dimplementasikan dengan baik di tingkat pusat dan daerah.
”Kerap kali yang terjadi eksekusinya berbeda dengan harapan dari desain yang dibuat. Pusat jauh lebih cepat, sedangkan daerah kerap kali lambat sehingga keselarasan implementasi tetap perlu dijaga,” ujarnya.
Menurut Faisal, pemerintah juga perlu memitigasi risiko-risiko yang disebut IMF, salah satunya menyangkut utang. Pastikan program PC-PEN berjalan dengan efektif agar manfaat utang ini bisa benar-benar digunakan secara produktif dan tidak sia-sia.
Ke depan, Indonesia perlu memiliki rancangan induk tentang cara melunasi utang negara. Tentu saja tidak dilihat dari rasionya terhadap PDB, tetapi juga dari kemampuan negara membayar utang tersebut.
”Pemerintah juga perlu membuat program multiguna dan multiefek untuk menghemat anggaran. Artinya, satu program dalam sekali pembiayaan bisa menciptakan efek ganda baik terkait perlindungan sosial, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan keterampilan,” katanya.
Faisal mencontohkan, bantuan sosial tunai jangan hanya mengarah pada konsumsi, tetapi juga ke padat karya yang produktif. Program padat karya itu diharapkan tidak sekadar di bidang infrastruktur, tetapi juga untuk memperkuat potensi daerah, semisal peremajaan tanaman kopi, kelapa sawit, dan karet.
Faisal juga berharap agar pemerintah dan pemangku kepentingan terkait benar-benar memanfaatkan peluang-peluang investasi. Bangun peta jalan investasi, baik mencakup arah atau tujuan, bentuk investasi yang masuk, manfaat, maupun serapan tenaga kerja.
Investasi itu bisa diarahkan untuk mendukung proses transformasi ekonomi Indonesia dari komoditas ke manufaktur berbasis ekspor, padat karya yang menyerap tenaga kerja, dan mewujudkan industri berbasis rantai nilai global.
”Tak cukup hanya UU Cipta Kerja dan regulasi turunannya. Buat juga desain besar investasi nasional. Serapan tenaga kerja ini sangat dibutuhkan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan,” ujarnya.
Investasi itu bisa diarahkan untuk mendukung proses transformasi ekonomi Indonesia dari komoditas ke manufaktur berbasis ekspor, padat karya yang menyerap tenaga kerja, dan mewujudkan industri berbasis rantai nilai global.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan Indonesia per September 2020 sebesar 10,19 persen. Indonesia kembali ke tingkat kemiskinan dua angka yang ditinggalkan pada Maret 2018.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia 27,55 juta orang. Jumlah ini naik 1,13 juta orang dari Maret 2020 atau naik 2,76 juta orang dari September 2019. Kemiskinan bertambah, antara lain, akibat 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak pandemi, termasuk 2,56 juta orang menjadi penganggur. Akibatnya, per Agustus 2020, ada 9,77 juta penganggur di Indonesia.
Rasio gini yang menunjukkan ketimpangan pengeluaran penduduk menjadi 0,385 per September 2020. Ketimpangan lebih buruk dari September 2019 yang rasio gininya 0,380 dan Maret 0,381. Rasio gini dalam rentang 0-1 dengan ketimpangan yang semakin lebar mendekati 1.