Harga dan Serapan Garam Anjlok, Resi Gudang Tersendat
Nasib petambak makin terpuruk. Setelah harga garam anjlok dan stok menumpuk, sistem resi gudang yang diharapkan menyangga kredit dengan jaminan garam dengan harga layak ikut tersendat.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Anjloknya harga dan serapan garam rakyat turut berimbas pada tersendatnya sistem resi gudang garam yang digulirkan pemerintah. Padahal, resi gudang menjadi penyangga petambak untuk mendapatkan harga layak.
Hingga saat ini, stok garam rakyat mencapai 723.000 ton. Indonesia memiliki 24 gudang untuk penyimpanan garam rakyat sebelum diserap industri pengolah. Dari 24 gudang garam nasional, baru tujuh di antaranya yang memiliki sistem resi gudang, yakni di Indramayu, Cirebon, Pati, Rembang, Tuban, Pamekasan, dan Pangkep.
Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Miftahul Huda, mengakui, anjloknya harga garam turut memicu sistem resi gudang tidak berjalan optimal. Sistem resi tersendat karena perbankan tidak mau menerbitkan resi.
Harga garam yang terus anjlok dinilai tidak memberikan kepastian dan jaminan bagi perbankan. "Bank sulit menentukan taksiran nilai garam yang jadi agunan," kata Huda, Rabu (17/3/2021).
Resi gudang adalah surat atau dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang dikelola oleh pengelola yang mendapat izin dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Sistem resi gudang diharapkan meningkatkan pendapatan petani/petambak karena mereka bisa menjual hasil panen ketika harganya tinggi.
Sementara itu, gudang garam nasional juga belum optimal berperan menyerap garam rakyat yang menumpuk. Hal itu antara lain karena beban biaya ongkos angkut garam ke gudang yang wajib ditanggung petambak, sedangkan harga jual garam hanya Rp 400 per kg. "Beberapa gudang garam juga sudah penuh terisi karena tidak ada permintaan dari industri," kata Huda.
Nilai Tambah
Kementerian Kelautan dan Perikanan akan fokus pada peningkatan kualitas dan nilai tambah garam rakyat, seperti bantuan pendampingan riset dan teknologi agar kualitas garam bisa menjawab kebutuhan industri. Selain itu, pemanfaatan saluran digital untuk penjualan garam rakyat dalam kemasan. Penjualan garam secara daring dinilai dapat mendorong penyerapan garam lebih maksimal.
"Penjualan lewat daring itu sangat bagus. Kita harus dorong agar tidak ada tengkulak," ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, dalam siaran pers, akhir pekan lalu.
Sementara itu, Deputi bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Safri Burhanuddin menilai, impor garam tahun ini lebih banyak karena kebutuhan tahun berjalan dan kebutuhan stok tahun depan guna menjaga kestabilan stok garam industri.
Hingga saat ini, lahan produksi garam masih terbatas, yakni sekitar 21.000-22.000 hektar. Produksi garam juga cenderung fluktuatif karena bergantung faktor iklim. Garam rakyat rata-rata memiliki kadar NaCl dibawah 97 persen, sedangkan garam industri mensyaratkan antara lain kadar NaCl berkisar 97-98 persen.
Di sisi lain, investasi industri yang membutuhkan bahan baku garam cenderung meningkat setiap tahun. Keterbatasan produksi dan kapasitas lahan garam nasional mendorong perlunya impor garam sebagai penyangga. Dengan proses pemurnian garam, kadar NaCl diakui bisa meningkat menjadi 97 persen dengan struktur biaya yang masih kompetitif.
Safri menambahkan, lima tahun lalu pemerintah berpatokan Indonesia sudah mulai mengarah ke swasembada garam industri. Ketika itu, kebutuhan garam industri hanya sekitar 2 juta ton, tetapi saat ini kebutuhannya sudah naik menjadi 3 juta ton per tahun. Kebutuhan garam industri yang terus meningkat membuat impor garam tidak bisa dihindari.
“Kalau bicara garam industri, kita tidak bisa katakan swasembada. Begitu kebutuhan raw material garam industri meningkat, otomatis kita tidak bisa penuhi karena keterbatasan. Tidak mungkin kita mengubah seluruh lahan menjadi lahan garam,” kata Safri.