Mulai pertengahan tahun ini, pemerintah sudah harus duduk bersama DPR untuk membahas Rancangan APBN 2022. Salah satu fokus pembahasannya adalah ketentuan dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menyatakan defisit APBN harus kembali di bawah 3 persen pada 2023.
Relaksasi defisit fiskal menjadi salah satu kebijakan luar biasa pemerintah dalam penanganan Covid-19. Defisit APBN dipatok paling tinggi 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Di masa pandemi, dikecualikan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020, yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2020, mengizinkan defisit APBN melampaui 3 persen PDB tahun 2020-2022. Pada tahun anggaran 2023, defisit harus kembali menjadi maksimal 3 persen PDB.
Relaksasi defisit fiskal menjadi salah satu kebijakan luar biasa pemerintah dalam penanganan Covid-19.
Indonesia dikenal dengan konsistensinya menjaga disiplin fiskal. Pascakrisis keuangan 1997-1998, defisit fiskal dijaga tidak lebih dari 3 persen PDB. Namun, ketika pandemi Covid-19, defisit APBN 2020 melonjak hingga 6,09 persen PDB, sedangkan defisit APBN 2021 diproyeksikan 5,7 persen PDB. Menurut catatan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, defisit APBN terdalam adalah 63 persen PDB pada 1963.
Kenapa defisit APBN tidak boleh lebih dari 3 persen PDB? Besaran itu tidak dihitung berdasarkan arsitektur perekonomian Indonesia. Pemerintah mengadopsi kriteria dalam Perjanjian Maastricht 1992—yang merupakan dasar pembentukan Uni Eropa pasca-Perang Dunia II. Negara-negara anggota Uni Eropa menyepakati defisit fiskal paling tinggi 3 persen PDB dan rasio utang pemerintah 60 persen PDB.
Baca Juga: Tekanan Covid-19 pada APBN
Bagi anggota Uni Eropa saat itu, kriteria defisit fiskal 3 persen PDB dianggap paling ideal menjaga anggaran tetap sehat dan berkelanjutan. Defisit fiskal maksimal 3 persen dengan harapan pemerintah tidak jorjoran menarik utang jangka menengah-panjang yang berdampak pada peningkatan pencetakan uang dan inflasi tinggi.
Pada 2022, menurut UU No 1/2020, adalah kesempatan terakhir defisit APBN bisa di atas 3 persen. Sejumlah ekonom menyangsikan target itu. Jika defisit APBN tiba-tiba dikembalikan ke bawah 3 persen dari PDB, berarti suntikan stimulus akan berkurang. Hal ini berisiko memengaruhi pemulihan ekonomi. Berbagai jenis belanja, termasuk belanja produktif, terpaksa dipotong.
Pendapat itu diperkuat riset Jorge A Chan-Lau dan Yunhui Zhao dalam IMF Working Paper (2020) berjudul ”Hang in There: Stock Market Reactions to Withdrawals of Covid-19 Stimulus Measures”. Hasil penelitian mereka menunjukkan, pasar keuangan akan bereaksi negatif ketika pemerintah menarik stimulus terlalu cepat, apalagi ketika kasus harian Covid-19 masih tinggi. Pengurangan stimulus yang signifikan berisiko merugikan usaha kecil dan kelompok masyarakat kelas bawah sehingga memicu kerusuhan sosial.
Baca Juga: Beban APBN akibat Covid-19
Sejauh ini memang belum ada penelitian spesifik perihal defisit APBN yang ideal bagi Indonesia. Berkaca dari kondisi terkini, ditambah peringatan berbasis sejumlah penelitian, tak salah jika pemerintah merancang ulang kebijakan defisit fiskal sesuai perkembangan situasi. Jika ekspansi masih diperlukan untuk menjaga momentum pemulihan, perpanjangan relaksasi defisit fiskal patut dipertimbangkan. Dengan syarat, anggaran digunakan secara bertanggung jawab dan dikelola dengan hati-hati.
Pengurangan stimulus yang signifikan berisiko merugikan usaha kecil dan kelompok masyarakat kelas bawah sehingga memicu kerusuhan sosial.
Perpanjangan relaksasi defisit fiskal juga perlu memperhatikan rasio utang pemerintah yang tahun ini diperkirakan mencapai 40 persen PDB.