Indonesia perlu menyusun cetak biru transisi energi untuk mendukung adaptasi terhadap perubahan iklim. Potensi sumber energi terbarukan Indonesia yang melimpah belum dimanfaatkan secara optimal.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dinilai belum punya visi transformasi energi untuk mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca. Pidato Presiden Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim yang digelar secara virtual, Kamis (22/4/2021), belum mencerminkan hal tersebut.
Dewan Energi Nasional tengah menyusun dokumen Grand Strategi Energi Nasional 2021-2040 untuk menyempurnakan Rencana Umum Energi Nasional.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, pidato Presiden Joko Widodo belum mencerminkan suasana krisis perubahan iklim dan urgensi untuk mencegah bencana akibat perubahan iklim. Aksi pencegahan di sektor kehutanan dan alih fungsi lahan oleh pemerintah sudah bagus, tetapi sikap serupa belum terlihat di sektor energi. Padahal, sektor energi adalah penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar setelah bidang kehutanan dan alih fungsi lahan.
”Sayangnya, pidato Presiden tidak secara gamblang menyatakan visi tranformasi energi Indonesia. Tidak disampaikan target dan rencana aksinya. Padahal, pidato tersebut adalah kesempatan besar untuk mendapat dukungan internasional (dalam mendukung transformasi energi),” kata Fabby saat dihubungi, Minggu (25/4/2021).
Seharusnya, Pemerintah Indonesia mendorong transisi energi secara cepat sehingga emisi gas rumah kaca di sektor ini akan mencapai puncaknya pada 2030 dan turun menuju nol pada 2050.
Fabby menambahkan, emisi gas rumah kaca di Indonesia pada 2030 dan seterusnya akan didominasi sektor energi. Emisi sektor energi tumbuh paling cepat, naik 6-7 kali lipat sejak 1980 sampai saat ini. Seharusnya, Pemerintah Indonesia mendorong transisi energi secara cepat sehingga emisi gas rumah kaca di sektor ini akan mencapai puncaknya pada 2030 dan turun menuju nol pada 2050.
Secara terpisah, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) 2020-2025, Satya Widya Yudha, mengatakan, sektor energi di Indonesia sampai dengan 2020 menyumbang penurunan emisi karbon hingga 64,36 juta ton. Hal itu tecermin dari pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang memiliki porsi 11,2 persen dalam bauran energi nasional pada 2020. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), energi baru dan terbarukan ditargetkan 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025.
”Adapun dalam dokumen kontribusi nasional penurunan emisi (Nationally Determined Contribution/NDC) sekitar 28 persen di 2030. Tidak ada perbedaan target dalam RUEN atau dokumen NDC. Keduanya saling melengkapi saja,” kata Satya.
Untuk menyempurnakan RUEN, tambah Satya, DEN telah menyusun dokumen Grand Strategi Energi Nasional 2021-2040. Beberapa hal yang akan menjadi prioritas pemerintah adalah meningkatkan penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai, menyediakan gas untuk transportasi, dan mengoptimalkan produksi bahan bakar nabati (biodiesel). Dari sisi pembangkit listrik, pemerintah menargetkan tambahan kapasitas pembangkit listrik 38.000 megawatt (MW) dari sumber energi terbarukan, khususnya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Beberapa hal yang akan menjadi prioritas pemerintah adalah meningkatkan penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai, menyediakan gas untuk transportasi, dan mengoptimalkan produksi bahan bakar nabati (biodiesel).
Dalam pidatonya pada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim, Presiden Joko Widodo menyerukan kesetaraan negara-negara di dunia dalam menangani persoalan perubahan iklim. Untuk itu, kontribusi pengurangan emisi setiap negara, sebagaimana ditargetkan dalam Perjanjian Paris, harus ditempuh secara konsisten (Kompas, 23/4/2021).
”Kita harus meningkatkan pembangunan hijau untuk dunia yang lebih baik. Indonesia telah memutakhirkan kontribusi nasionalnya guna mengembangkan kapasitas adaptasi dan daya tahan iklim. Kami menyambut COP 26 UNFCCC di Inggris dan menunggu hasil yang seimbang dan bisa dilaksanakan. Kami juga menyambut sejumlah negara yang memulai program dengan target emisi nol pada 2050,” kata Presiden.
Meski demikian, menurut Presiden, untuk menjamin kredibilitasnya, komitmen tersebut harus dilaksanakan atas dasar komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030 atau kontribusi nasional yang telah ditetapkan untuk mencapai target Perjanjian Paris. Negara-negara berkembang juga akan melaksanakan ambisi serupa.
Potensi energi terbarukan di Indonesia terbilang melimpah dengan jenis tenaga surya paling besar, yaitu 207.800 MW. Disusul potensi hidro 75.000 MW, bayu atau angin 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, panas bumi 23.900 MW, dan samudra (arus laut) 17.900 MW. Akan tetapi, dari potensi sebesar itu, yang termanfaatkan baru 10.400 MW atau 2,5 persen.
Dari sisi bauran energi primer pembangkit listrik, batubara masih dominan, yakni 65 persen, sedangkan pembangkit listrik dari energi terbarukan sekitar 14 persen. Adapun sisanya pembangkit listrik menggunakan bahan bakar gas dan minyak bumi jenis solar.