Butuh Terobosan untuk Mendorong UMKM Kian Berkembang
Sudah cukup banyak strategi membangkitkan UMKM. Jika diterapkan secara sinergis, diyakini UMKM akan berkembang lebih baik dan pesat.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS – Kebijakan pemerintah perlu terintegrasi sejalan dengan inovasi yang dilakukan oleh para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah. Tidak akan bisa optimal hasil yang dicapai jika UMKM diharapkan untuk berinovasi, sementara kebijakan masih kurang kondusif yang untuk mendukung.
Ketergantungan Indonesia pada produk impor, termasuk pangan impor, diharapkan bisa dikurangi jika kebijakan Kementerian Koperasi dan UKM maupun kementerian di bawah Menko Perekonomian terintegrasi untuk bisa menyelesaikan permasalahan yang dihadapi UMKM.
Pendiri dan Ekonom CORE Indonesia Hendri Saparini dalam seminar “Daya Tahan UMKM di Tengah Pandemi” secara virtual yang diselenggarakan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada dan Pengurus Daerah Kagama Jawa Tengah, Minggu (2/5/2021), di Yogyakarta, mengatakan, “Sekarang ini, perlu ada strategi yang berubah, karena kondisinya saat ini betul-betul berubah. Kondisi extraordinary perlu disikapi dengan kebijakan extraordinary pula. Kita membutuhkan kebijakan terobosan yang merangkul UMKM.”
Kebijakan diperlukan tidak sekadar untuk menyediakan pendanaan, tetapi menciptakan pula pasar secara riil. Bantuan pemerintah atau stimulus yang diberikan kepada UMKM selama pandemi COVID-19 tahun 2020 mencapai Rp 123,46 triliun dan berlanjut tahun 2021 sebesar 48,8 triliun.
“Kebijakan yang diberikan kepada UMKM selama ini masih mengarah pada stimulus finansial atau pendanaan. Padahal, kita juga perlu stimulus non-finansial,” ujar Hendri.
Menurut Hendri, pemerintah perlu fokus terhadap sektor-sektor prioritas. Tidak hanya berkutat pada persentase dana stimulus terhadap produk domestik bruto (PDB). Dibutuhkan penguatan UMKM sebagai entitas bisnis agar efisien, kompetitif, dan bisa berdaya saing.
Kementerian UKM dan Koperasi saat ini sudah mendorong UMKM go digital. Tidak hanya pada sisi pemasaran, tetapi juga membuka kolaborasi dengan perbankan dan teknologi finansial (fintech). Begitu UMKM go digital, sesungguhnya ada database yang bisa dimanfaatkan untuk mendeteksi produk yang diminati, harga produk yang terjangkau, dan arah tren kebutuhannya. Selain itu, bisa juga dijadikan alternatif credit scoring.
Hal berikutnya, penting pula untuk mengintegrasikan UMKM ke dalam strategi dan kebijakan nasional. Selama pandemi, pemerintah memiliki program bantuan sosial. Untuk sembako saja, ada dana sekitar Rp 45 triliun. Jika bansos diberikan ke dalam produk lokal, dana sebesar itu akan menjadi captive market bagi produk UMKM.
“Presiden Jokowi berkali-kali berkomentar, mestinya kita tidak mengimpor barang yang bisa diproduksi di dalam negeri. Tetapi, ini tidak ada program turunan secara masif. Kalau saja, Menko Perekonomian membuat daftar substitusi 100 produk impor, maka UKM akan mengisi. Misalnya, kebutuhan tepung tapioka diisi UKM. Impor tepung tapioka selama ini lebih dari Rp 7 triliun,” jelas Hendri.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengakui, UMKM Indonesia mempunyai daya tahan luar biasa. Mereka bisa cepat beradaptasi dan melakukan inovasi produk di situasi pasar yang baru. Pemerintah tidak tinggal diam, ada sejumlah langkah kebijakan untuk membantu masalah keuangan yang terpukul karena turunnya daya beli masyarakat.
“Tahun ini, kita masih berada dalam tahap survival, meskipun kuartal pertama 2021 konsumsi masyarakat mulai meningkat terkait vaksinasi. Pemulihan ekonomi nasional tidak mungkin dilakukan tanpa memulihkan kegiatan usaha UMKM,” tegas Teten.
Menurut Teten, berdasarkan sejumlah survei, minat anak muda sekarang ini menjadi pelaku wirausaha. Bukan menjadi pegawai. Dari 270 juta jiwa penduduk Indonesia, sekitar 68,75 persen masuk usia produktif. Generasi milenial mencapai sekitar 99 juta jiwa atau 25,87 persen, sedangkan generasi Z sekitar 75,98 juta jiwa atau 27,94 persen.
Di tengah pandemi, jumlah pekerja informal mencapai 1,18 juta jiwa atau naik 2,62 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menjadi tantangan untuk mencarikan solusinya.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengungkapkan berbagai solusi yang sedang dilakukan secara gencar di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan data Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten/Kota Jateng, UMKM yang terdampak COVID-19 mencapai 625.230 unit.
Jumlah tenaga kerja merosot dari sekitar 1,860 juta menjadi 1,237 juta atau turun 33,47 persen. Aset pun merosot 37,48 persen dari sekitar Rp 9,123 miliar menjadi sekitar Rp 5,704 miliar. Dari sisi omset merosot dari Rp 13,080 miliar menjadi Rp 8,814 miliar atau turun 32,62 persen.
Permasalahan yang dihadapi UMKM selama pandemi adalah keterbatasan promosi offline (pameran), terhambatnya pemasaran konvensional, rendahnya kemampuan UMKM beradaptasi ke pemasaran digital, kesulitan bahan baku akibat distribusi yang terhambat, kemampuan pembiayaan, dan ada pula yang memiliki daya tahan rendah.
“Sebetulnya, strategi membangkitkan UMKM cukup banyak. Kalau dibantu, pemasarannya bisa berjalan dengan baik,” kata Ganjar.
Sambil menunjukkan aplikasi “Lapak Ganjar”, Ganjar juga menyebutkan penguatan pasar UMKM yang dapat dilakukan dengan UKM Virtual Expo, peningkatan Kerjasama dengan e-commerce, menindaklanjuti UU Nomor 11 Tahun 2020 (Pasal 97) terkait pengadaan barang dan jasa yang harus melibatkan UKM, serta berbagai pelatihan, pendampingan dan pemasaran daring.
Direktur Badan Layanan Umum-Pusat Investasi Pemerintah (BLU-PIP) Ririn Kadariyah mengatakan, pihaknya berupaya mengatasi masalah yang dihadapi pelaku usaha mikro agar tidak terjerat rentenir. Dari sisi penyaluran bantuan kredit, sejak tahun 2017 hingga 2020 sesungguhnya terus meningkat jumlahnya. Bahkan jumlah debitur selalu melebihi target.
Tahun 2017, jumlah debitur mencapai sekitar 307,03 ribu dengan nilai penyaluran Rp 753,24 miliar. Memasuki pandemi tahun 2020, penyaluran dananya mencapai Rp 6,013 triliun. Secara total jumlah debitur yang dibiayai sepanjang 2017-2020 mencapai 3,440 juta debitur dengan nilai penyaluran sebesar Rp 11,05 triliun.