Kendati secara nominal naik, upah riil buruh tani naik tipis, sementara upah buruh bangunan justru turun. Daya beli buruh perlu dijaga untuk membantu menopang perekonomian nasional.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Daya beli buruh dinilai belum sepenuhnya pulih lantaran upahnya tergerus inflasi pedesaan maupun perkotaan. Kendati secara nominal upah buruh mulai naik, secara riil, upah buruh tani hanya naik tipis, sementara upah buruh bangunan justru turun.
Badan Pusat Statistik mencatat, upah nominal harian buruh tani nasional pada April 2021 naik 0,28 persen dibandingkan Maret 2021. Besarannya naik dari Rp 56.470 per hari menjadi Rp 56.629 per hari. Kendati demikian, upah riil buruh tani hanya naik 0,01 persen dari Rp 52.461 per hari menjadi Rp 52.469 per hari selama kurun itu.
Adapun upah nominal harian buruh bangunan (tukang, bukan mandor) pada April 2021 naik 0,02 persen dibandingkan Maret 2021. Besarannya naik dari Rp 90.971 per hari menjadi Rp 90.989 per hari. Meski secara nominal naik, upah riil buruh bangunan pada April 2021 turun 0,11 persen dari Rp 85.699 per hari menjadi Rp 85.605 per hari.
Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto, Kamis (20/5/2021), mengatakan, meskipun upah nominal buruh naik, daya beli pekerja belum bisa meningkat signifikan karena inflasi. Indeks konsumsi rumah tangga di perdesaan pada April 2021 tercatat 0,27 persen sehingga secara riil upah buruh tani hanya meningkat 0,01 persen.
”Sementara untuk buruh bangunan, berhubung tingkat inflasi di perkotaan pada April 2021 sebesar 0,13 persen, secara riil daya beli buruh menurun 0,11 persen,” kata Suhariyanto dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Sebelumnya, dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2021, BPS mencatat, dibandingkan kondisi pada Agustus 2020, rata-rata upah buruh mengalami kenaikan 3,78 persen menjadi Rp 2,86 juta per bulan dari sebelumnya Rp 2,76 juta per bulan.
Akan tetapi, secara tahunan, jika dibandingkan kondisi Februari 2020, rata-rata upah buruh tetap mengalami penurunan 1,75 persen. Sebelumnya, pada periode yang sama tahun lalu, rata-rata upah buruh Rp 2,91 juta per bulan. Upah buruh laki-laki tetap lebih tinggi Rp 3,1 juta daripada upah buruh perempuan Rp 2,44 juta, yang masih di bawah rata-rata.
Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, kendati mengalami kenaikan tipis, dengan upah yang relatif masih rendah itu, inflasi akan ”memakan” nilai upah pekerja sehingga tidak berdampak pada perbaikan daya beli pekerja. Terlebih di tengah upah minimum yang diputuskan tidak naik tahun ini lantaran pandemi.
Upah pekerja juga terancam turun dengan adanya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Covid-19 yang memungkinkan perusahaan padat karya bisa memangkas upah pekerja.
Meski kondisi perusahaan banyak yang sedang terpuruk, peraturan itu dinilai terlalu longgar dan tidak detail sehingga berpotensi disalahgunakan. Mekanisme pengurangan upah yang bergantung pada perundingan bipartit antara manajemen dan pekerja juga berpotensi tidak seimbang, apalagi banyak buruh yang belum berserikat.
Menurut Timboel, pemerintah perlu menciptakan sistem pengupahan yang bisa mengantisipasi turunnya upah riil pekerja agar kualitas daya beli pekerja bisa terjaga. ”Daya beli buruh yang terjaga dapat menggerakkan konsumsi masyarakat dan menopang pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya.
Salah satu caranya adalah melalui instrumen jaminan sosial ketenagakerjaan. Misalnya, pekerja dengan pendapatan sebatas upah minimum bisa mendapatkan subsidi dari hasil investasi program Jaminan Hari Tua (JHT) di BP Jamsostek.
”Pemerintah bisa menciptakan manfaat layanan tambahan dari JHT untuk menyubsidi biaya kebutuhan pokok pekerja dengan upah pas-pasan, seperti untuk kebutuhan beras, minyak goreng, dan lain-lain,” kata Timboel.
Di sisi lain, daya beli yang perlu dijaga bukan hanya pekerja formal, melainkan juga pekerja informal. Apalagi, melihat tren pekerja informal yang terus meningkat, serta semakin banyak pekerja terdampak pandemi yang beralih menjadi pekerja lepas berstatus mitra, seperti ojek daring atau mitra kurir lepas platform e-dagang.
”Pekerja yang selama ini dikondisikan dengan status ’mitra’ itu juga sebaiknya diikutsertakan dalam program Jamsostek sehingga daya beli mereka juga terjaga,” katanya.