Petai dan Jengkol dari Sumatera Utara Tembus Pasar Jepang
Berbagai komoditas pertanian baru dari Sumatera Utara mampu menembus ekspor selama pandemi, seperti jengkol, petai, andaliman, dan lidi. Nilai ekspor pada semester I-2021 pun meningkat 43,33 persen.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Nilai ekspor komoditas pertanian dari Sumatera Utara mampu bertumbuh 43 persen pada semester I-2021 di tengah tekanan pandemi Covid-19. Kenaikan ditopang naiknya harga komoditas, meningkatnya volume, dan banyaknya jenis komoditas baru yang mampu menembus pasar ekspor.
Kepala Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Belawan Andi PM Yusmanto, Sabtu (28/8/2021), mengatakan, komoditas ekspor pertanian menjadi salah satu penopang ekonomi masyarakat di tengah pandemi Covid-19. ”Pasar ekspor komoditas pertanian tetap bertumbuh dan proses produksi pun bisa tetap berjalan dengan protokol kesehatan,” kata Andi.
Andi mengatakan, nilai ekspor komoditas pertanian dari Sumatera Utara meningkat 43,33 persen semester I-2021 dari Rp 9,42 triliun menjadi Rp 13,51 triliun. Ekspor pun masih didominasi komoditas unggulan, seperti minyak sawit, produk turunan sawit lainnya, kopi biji, pinang biji, dan karet lembaran.
”Beberapa komoditas baru juga menembus pasar ekspor dalam beberapa tahun ini. Nilai dan volumenya terus meningkat,” kata Andi.
Beberapa komoditas baru dari Sumut, antara lain, adalah bawang daun, buah tempayan, bunga krisan, kecombrang, manisan kelapa, masohi, sirih, andaliman, petai, dan jengkol. Komoditas-komoditas baru ini umumnya digarap oleh eksportir dan pelaku usaha mikro kecil dan menengah.
Salah satu komoditas baru yang berhasil menembus pasar ekspor pada Agustus ini adalah jengkol dan petai. Eksportir dari Karo berhasil mengekspor 4 ton jengkol dan petai ke Jepang dengan nilai Rp 339 juta. ”Jengkol dan petai menjadi salah satu komoditas baru yang akan menopang ekspor Sumut,” kata Andi.
Koordinator Informasi dan Sarana Teknik Karantina Tumbuhan BBKP Belawan Sari Narulita Hasibuan mengatakan, ekspor tanaman endemik dari Sumut, yakni andaliman, juga terus meningkat pesat. Pada 2019, ekspor perdana andaliman mencapai 300 kilogram. Pada 2021 (hingga Agustus), ekspor andaliman pun sudah 1.770 kilogram.
”Andaliman saat ini banyak digemari oleh koki-koki dunia, khususnya di Eropa. Mereka, misalnya, menggunakannya sebagai bumbu masak pizza,” kata Sari.
Kiki Andrea (39), eksportir andaliman dari Kabupaten Samosir, mengatakan, sejak ia mengirim sampel andaliman ke Eropa, permintaan terus meningkat dan tidak semuanya bisa dipenuhi. ”Pada 2019 ada permintaan 700 kilogram andaliman dari Jerman, tetapi hanya 300 kilogram yang bisa kami penuhi,” katanya.
Kiki mengatakan, saat ini ia bersama kelompok taninya terus berupaya meningkatkan produksi dan kapasitas pengolahan andaliman agar bisa memenuhi permintaan. Pada 2021 ini, ia sudah dua kali mengekspor andaliman dengan total 1.770 kilogram.
Menurut Kiki, selama bertahun-tahun andaliman hanya dijual di pasar lokal Sumut. Akibatnya, petani sering merugi karena harga yang sangat fluktuatif. Saat musim panen raya, harga di tingkat petani bisa jatuh hingga Rp 10.000 per kilogram. ”Namun, saat tidak musim panen harganya bisa melambung hingga Rp 200.000 per kilogram,” kata Kiki.
Dengan terbukanya pasar ekspor, harga bisa stabil berkisar Rp 60.000-Rp 100.000 per kilogram karena hasilnya bisa tetap diserap saat panen raya. Di pasar ekspor, harga andaliman bisa menembus 49 Euro (Rp 827.000) per kilogram (setelah dikeringkan dan menyusut hingga 18 persen dari berat segar).
Kiki mengatakan, ada sekitar 30 petani yang bermitra dengannya untuk memenuhi pasar ekspor. Mereka pun menargetkan bisa bermitra dengan 3.000 petani untuk memenuhi permintaan pasar andaliman yang terus meningkat pesat di Eropa.