Pelanggaran perikanan masih terus berlangsung, baik yang dilakukan oleh kapal asing maupun kapal ikan dalam negeri. Penguatan pengawasan perbatasan menjadi tantangan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan memulangkan empat nelayan asal Aceh yang ditangkap otoritas Pemerintah Thailand. Keempat nelayan itu ditangkap akibat pelanggaran lintas batas wilayah dan dugaan menangkap ikan secara ilegal.
Keempat nelayan itu berasal dari Idi Reyeuk, Kabupaten Aceh Timur, yakni H (17 tahun), M (18 tahun), MM (18 tahun), dan J (17 tahun). Pemulangan tersebut dilakukan atas koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Luar Negeri, dan Pemerintah Provinsi Aceh.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin mengemukakan, keempat nelayan tersebut ditangkap oleh otoritas Thailand pada 9 April 2021 karena dituduh menangkan ikan secara ilegal di wilayah perairan Thailand. Namun, berdasarkan putusan pengadilan Thailand, mereka dibebaskan karena masih di bawah umur.
”Keempatnya masih di bawah umur, usianya masih 17-18 tahun, sehingga dilakukan tindakan deportasi saja,” ujar Adin, dalam keterangan tertulis, Sabtu (11/9/2021).
Adin menambahkan, empat nelayan tersebut tiba di Tanah Air pada Kamis (9/9/2021) malam dan tengah dikarantina sesuai prosedur terkait penanganan dan pecegahan Covid-19. Adin mengemukakan, persoalan batas wilayah perairan yang belum disepakati juga kerap memicu pelanggaran. Sengketa batas wilayah memicu wilayah-wilayah rawan perikanan ilegal yang dimanfaatkan kapal asing untuk mencuri ikan di perairan Indonesia.
Berdasarkan putusan pengadilan Thailand, mereka dibebaskan karena masih di bawah umur.
Menurut Direktur Penanganan Pelanggaran pada KKP Teuku Elvitrasyah, proses hukum yang sudah dijalani nelayan tersebut menjadi pelajaran agar pelanggaran melintas batas tidak terulang lagi.
Wilayah abu-abu
Awal pekan ini, KKP menangkap satu kapal berbendera Malaysia yang beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 571 Selat Malaka. Penangkapan kapal asing ilegal itu terjadi di sekitar wilayah perbatasan yang mengalami klaim tumpang tindih antara Indonesia dan Malaysia.
Kapal berbendera Malaysia PK 6911F diawaki oleh enam awak kapal yang seluruhnya berkebangsaan Myanmar. Mereka ditangkap saat mencuri ikan di Selat Malaka. Kapal itu menggunakan alat tangkap pukat harimau (trawl) yang merusak.
Adin mengemukakan, kapal ilegal itu sempat mencoba kabur menuju area perbatasan yang belum disepakati (unresolved maritime boundaries). Namun, kapal pengawasan KKP Hiu 16 mengejar dan berhasil menangkap kapal tersebut.
”Ini modus yang sering dilakukan. Mereka mencoba lolos dari jerat hukum kita dengan melarikan diri ke overlapping claim area. Padahal, (mereka) melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia,” kata Adin.
Indonesia dan Malaysia masih memiliki sengketa batas maritim yang belum disepakati. Kedua negara sepakat melaksanakan tindakan pengusiran jika terjadi pelanggaran di wilayah yang belum disepakati kedua negara.
Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Pung Nugroho Saksono menambahkan, penegakan hukum di Selat Malaka memberikan tantangan tersendiri dengan adanya wilayah ”abu-abu” tersebut. Indonesia dan Malaysia masih memiliki sengketa batas maritim yang belum disepakati. Kedua negara sepakat melaksanakan tindakan pengusiran jika terjadi pelanggaran di wilayah yang belum disepakati kedua negara.
”Kerja sama ini jangan memperlemah pemberantasan illegal fishing di Selat Malaka,justru harus mendatangkan manfaat untuk kita. Oleh karena itu, kalau jelas-jelas mencuri di wilayah kita, ya, tetap kita kejar,” kata Pung.
Sejak Januari hingga awal September 2011, KKP telah menangkap 135 kapal yang terdiri dari 88 kapal ikan Indonesia yang melanggar ketentuan dan 47 kapal ikan asing yang mencuri ikan. Kapal ikan asing yang ditangkap terdiri dari 16 kapal berbendera Malaysia, 6 kapal berbendera Filipina, dan 25 kapal berbendera Vietnam.