Ketika peternak menderita karena harga jual telur hancur dan produksi tak terserap pasar, Indonesia masih mengimpor telur olahan. Surplus telur belum dimanfaatkan maksimal dan kendala yang ada belum dapat solusi jitu.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Unjuk rasa peternak unggas seolah tak berjeda beberapa tahun terakhir. Latar belakangnya sebagian besar karena harga jual ayam hidup (livebird) dan telur ayam yang anjlok di tingkat peternak. Situasi itu terutama dipicu oleh ketidakseimbangan pasar di mana produksi daging dan telur ayam melebihi permintaan. Risiko terbesar dialami peternak karena harga jual hasil jerih payahnya berulang tertekan hingga di bawah ongkos produksi.
Bulan lalu, para peternak dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Lampung ”menggeruduk” kantor Kementerian Pertanian, Gedung DPR, dan Istana Merdeka untuk menyampaikan aspirasi. Mereka protes karena problem harga jual ayam hidup dan telur ayam yang anjlok tak kunjung teratasi. Langkah pemerintah mengurangi produksi untuk menstabilkan harga di tingkat produsen dinilai belum manjur mengatasi persoalan.
Peternak protes karena telur ayam produksi mereka hanya laku Rp 14.000-Rp 17.000 per kilogram (kg) awal bulan lalu. Padahal, pemerintah telah menetapkan harga acuan penjualannya di tingkat produsen sebesar Rp 19.000-Rp 21.000 per kg. Kerugian mereka berlipat karena pada saat yang sama ongkos produksi naik seiring naiknya harga sejumlah komponen, terutama pakan yang didorong oleh kenaikan harga jagung.
Ironisnya, ketika peternak menderita karena harga jual telur hancur dan sebagian produksi tak terserap pasar, Indonesia masih mengimpor telur olahan. Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kementerian Perindustrian, Supriyadi, dalam diskusi ”Mengupas Peluang Industri Pengolahan Telur di Indonesia” yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), Rabu pekan lalu mengatakan, impor telur cair beku tahun 2020 mencapai 441 ton dengan nilai 671.000 dollar AS. Padahal, Indonesia surplus telur ayam dan tahun ini diperkirakan mencapai 200.000 ton.
Selama ini, surplus produksi telur justru sering dituding sebagai ”sumber bencana” karena menghancurkan harga di tingkat peternak sehingga kerap diselesaikan melalui pemotongan produksi. Padahal, ada potensi pasar yang besar di hilir yang tumbuh seiring meningkatnya konsumsi dan jumlah kelas menengah.
Menurut Setyo Wasisto, Komisaris PT Widodo Makmur Perkasa, perusahaan peternakan terintegrasi, selama ini kelebihan telur belum dimanfaatkan maksimal dan kendala yang ada belum mendapatkan solusi komprehensif. Menurut dia, kehadiran pabrik pengolahan telur di Indonesia strategis sebagai salah satu solusi menggairahkan peternak.
Menurut General Manager PT Intan Kenkomayo Indonesia, produsen mayones, Eddy Sukianto, produk telur cair pasteurisasi sangat diminati produsen kue dan roti serta hotel, restoran, dan kafe di Indonesia karena dapat meningkatkan efisiensi produksi dan lebih higienis. Pengembangan industri pengolah telur prospektif. Namun, langkah itu perlu dibarengi pengendalian impor guna menggairahkan industri di Tanah Air.
Koordinator Pengolahan di Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Kementerian Pertanian, Boethdy Angkasa berpendapat, harga telur sebagai bahan baku telur cair beku jadi kendala. Idealnya Rp 13.000–14.000 per kg, sementara ongkos produksinya di dalam negeri Rp 19.000 per kg. Hal ini jadi tantangan.
Benar, Indonesia perlu mengolah telurnya agar lebih bernilai ekonomi. Namun, sederet kendala perlu lebih dulu diselesaikan bersama, dari hulu hingga hilir.