Kolaborasi Jadi Kunci untuk Industri Sawit Berkelanjutan
Tuntutan kelapa sawit keberlanjutan dari pasar Eropa menjadi tantangan bagi industri kelapa sawit nasional. Kolaborasi pemerintah dan pelaku usaha menjadi kunci untuk mewujudkan industri kelapa sawit berkelanjutan.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Industri kelapa sawit terbukti mampu bertahan dalam situasi pandemi Covid-19 dan memberikan sumbangan positif pada perekonomian nasional. Namun, tuntutan sawit keberlanjutan dari pasar Eropa menjadi tantangan. Kolaborasi pemerintah dan pelaku usaha jadi kunci untuk mewujudkan industri kelapa sawit berkelanjutan.
Pentingnya kolaborasi pemerintah dan pelaku usaha dalam industri kelapa sawit mengemuka dalam acara Borneo Palm Oil Forum IV di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (15/12/2021). Acara tersebut mengusung tema ”Meningkatkan Kolaborasi Pemerintah dan Pelaku Usaha dalam rangka Mewujudkan Industri Kelapa Sawit Berkelanjutan dalam Kondisi Pandemi Covid-19”.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, sumbangan industri sawit melalui devisa justru meningkat signifikan di masa pandemi. Jika kinerjanya tetap membaik sampai akhir tahun 2021 ini, industri sawit diestimasikan mampu menyumbang devisa sebesar 35 miliar dollar AS atau sekitar Rp 490 triliun.
”Untuk terus meningkatkan kinerja industri sawit nasional, termasuk di Kalimantan Selatan, tetap penting untuk terus dilakukan upaya-upaya bersama antara pelaku usaha, pimpinan daerah provinsi, dan kabupaten dalam kerangka kolaborasi terus-menerus,” katanya.
Menurut Joko, pemerintah dan pelaku usaha harus bersama-sama mendorong dan berusaha menciptakan iklim berusaha yang kondusif, mulai dari aspek regulasi hingga aspek implementasi regulasi. Kolaborasi dibutuhkan karena industri kelapa sawit terus menghadapi tantangan yang tidak ringan, khususnya tuntutan keberlanjutan di pasar global.
”Tuntutan keberlanjutan, terutama di pasar Eropa, telah menjelma menjadi regulasi. Banyak peraturan yang dibuat oleh negara-negara Eropa sangat berdampak terhadap kinerja sawit nasional, misalnya regulasi tentang deforestasi,” katanya.
Menghadapi situasi seperti itu, ujar Joko, Indonesia tidak bisa menghindar. Mau tidak mau pemerintah dan pelaku usaha harus melakukan penyesuaian. Karena itulah pentingnya pelaku usaha bersama pemerintah daerah dan pusat selalu bekerja sama serta berkolaborasi untuk saling memberikan masukan dan dukungan agar industri kelapa sawit tetap mampu bersaing.
”Hambatan-hambatan itu akan selalu ada karena Eropa punya kepentingan terhadap bisnis minyak nabati. Maka, perlu kolaborasi antara pelaku usaha dan pemerintah untuk terus melakukan lobi atau negosiasi dengan pemerintah Eropa supaya aturan itu tidak merugikan,” katanya.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud, yang hadir secara virtual, mengatakan, kelapa sawit menjadi salah satu komoditas pertanian yang mampu bertahan dalam situasi pandemi Covid-19 dan memberikan sumbangan positif dalam perekonomian nasional.
Sektor industri kelapa sawit nasional menciptakan lapangan kerja untuk lebih dari 16 juta tenaga kerja langsung ataupun tidak langsung dan menyumbang 15,6 persen dari total ekspor non-migas Indonesia pada 2020. ”Sektor kelapa sawit menjadi tulang punggung (backbone) bagi perekonomian nasional,” ujarnya.
Sebagai produsen dan eksportir terbesar, Indonesia menguasai sekitar 58 persen pangsa pasar minyak sawit dunia. Indonesia mampu menghasilkan 40 persen dari total minyak nabati dunia. Itulah sebabnya sawit sebagai minyak nabati dengan produktivitas tertinggi memegang peran penting dalam menjaga ketahanan pangan.
Regulasi tersebut untuk mengakselerasi pembangunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
Menurut Musdhalifah, pemerintah senantiasa mendukung pencapaian tujuan pembangunan sawit berkelanjutan. Ini dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO). ”Regulasi tersebut untuk mengakselerasi pembangunan kelapa sawit yang berkelanjutan,” ujarnya.
Perpres itu mewajibkan seluruh tipe usaha kelapa sawit, perkebunan besar ataupun swasta, dan perkebunan rakyat untuk memperoleh sertifikasi ISPO. ”Ini adalah bagian dari jaminan bahwa praktik produksi yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit telah mengikuti prinsip-prinsip dan kaidah keberlanjutan,” katanya.
Gubernur Kalsel Sahbirin Noor mengatakan, daerahnya sangat fokus dalam menggarap sektor perkebunan kelapa sawit dan sektor perkebunan lainnya, seperti karet dan kopi. Sektor perkebunan tersebut mempunyai peran penting dan strategis dalam meningkatkan pembangunan di daerah.
”Saat ini sektor perkebunan kelapa sawit di Kalsel menjadi penyumbang devisa nomor dua setelah sektor pertambangan serta mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Luas areal perkebunan kelapa sawit di Kalsel mencapai 426.475 hektar (ha), yang terdiri dari perkebunan perusahaan besar swasta seluas 313.545 ha, perkebunan perusahaan besar seluas 6.489 ha, dan perkebunan yang diusahakan oleh rakyat seluas 106.441 ha.
Sampai saat ini terdapat 89 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalsel dengan jumlah pabrik minyak sawit atau CPO sebanyak 46 unit, industri minyak goreng 2 unit, dan industri biodiesel 2 unit. ”Sektor perkebunan kelapa sawit di Kalsel menyerap tenaga kerja lebih dari 72.000 orang,” katanya.
Menurut Sahbirin, peluang dan masa depan pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kalsel cukup cerah. Namun, beberapa permasalahan masih dihadapi dalam membangun sektor perkebunan yang berkelanjutan, misalnya tumpang tindih perkebunan kelapa sawit dan kawasan hutan, terbatasnya hilirisasi, serta isu negatif perkebunan kelapa sawit.
Untuk mengatasi permasalahan itu, Pemprov Kalsel telah melakukan langkah-langkah strategis dalam melaksanakan Rencana Aksi Daerah Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAD-KSB). Hal ini, antara lain, membentuk tim pelaksana RAD-KSB, melaksanakan validasi data, membentuk tim percepatan penyelesaian keterlanjuran kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan, serta meningkatkan produksi dan produktivitas kelapa sawit dengan peremajaan sawit rakyat.