Bendungan Pertama di Sultra Diresmikan Presiden Jokowi, Kedaulatan Pangan Dinantikan
Setelah berbagai kendala saat pembangunan, Bendungan Ladongi, bendungan pertama di Sultra, diresmikan Presiden Joko Widodo. Bendungan senilai Rp 1,2 triliun ini akan mengairi sawah seluas 3.604 hektar.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN DAN SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KOLAKA TIMUR, KOMPAS — Bendungan Ladongi, bendungan pertama di Sulawesi Tenggara, akhirnya diresmikan Presiden Joko Widodo, Selasa (28/12/2021). Infrastrukur senilai Rp 1,2 triliun ini akan mengairi sawah seluas 3.604 hektar dan sejumlah peruntukan lainnya. Pemerintah daerah diharapkan mempertahankan lahan pertanian di sekitarnya untuk menciptakan kedaulatan pangan.
Bendungan Ladongi bertipe urukan batu dengan tinggi 67 meter. Konstruksinya dilakukan kontraktor BUMN PT Hutama Karya bekerja sama operasi (KSO) dengan kontraktor swasta nasional, yakni PT Bumi Karsa, dengan biaya APBN sebesar Rp 1,2 triliun.
Dari data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Bendungan Ladongi di Kolaka Timur ini berfungsi menyediakan air baku 120 liter per detik dan reduksi banjir hingga 176,6 meter kubik per detik atau sebesar 49,90 persen. Selain itu, ada potensi listrik sebesar 1,3 megawatt dan air irigasi seluas 3.604 hektar.
Tiba di lokasi bendungan, Presiden Jokowi bersama rombongan langsung menuju dermaga terapung untuk menaiki perahu naga. Dari sana, Presiden meresmikan Bendungan Ladongi.
”Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, Bendungan Ladongi di Kabupaten Kolaka Timur, Provinsi Sulawesi Tenggara, pada pagi hari ini saya nyatakan diresmikan,” ujar Presiden, Selasa.
Dayung perahu
Presiden didampingi Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, yang menjadi pendayung perahu naga. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia juga tidak ketinggalan. Dia menabuh gendang untuk mengatur irama pergerakan perahu dan memberi semangat kepada pendayung.
Presiden juga didampingi atlet dayung dari Sultra. Setelah berputar selama 15 menit, perahu naga yang ditumpangi Presiden menepi menuju dermaga terapung.
Sebelum menandatangani prasasti peresmian Bendungan Ladongi dan Kolam Retensi Boulevard Sungai Wanggu di Kota Kendari, Presiden menjelaskan alasannya mendayung perahu naga. Dia mengatakan, Bendungan Ladongi memiliki potensi untuk dijadikan destinasi wisata, khususnya wisata air.
”Tadi saya mencoba memakai perahu, mendayung, karena memang arahnya waduk ini juga bisa dipakai sebagai tempat wisata sehingga menjadi tanggung jawab kabupaten maupun provinsi untuk nanti pengembangan selanjutnya,” ungkap Presiden.
Kebutuhan air
Presiden Jokowi menyebutkan, Bendungan Ladongi berdaya tampung 45,9 juta meter kubik dengan luasan lahan 222 hektar. Bendungan akan bisa mengairi 3.604 hektar sawah dengan 1.392 hektar di antaranya merupakan area baru. Kepala Negara berharap kehadiran bendungan bisa memenuhi kebutuhan air untuk pertanian dalam rangka mendukung kemandirian, kedaulatan, dan ketahanan pangan.
”Tanpa air tidak mungkin kita bisa mencapai ketahanan pangan yang baik, kedaulatan pangan yang baik, dan kemandirian pangan yang baik,” tambah Presiden.
Kementerian PUPR melalui Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) IV Kendari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air telah memulai pembangunan Bendungan Ladongi sejak 2016 dan selesai pada akhir 2021. Pembangunan bendungan bertujuan mengoptimalkan potensi aliran Sungai Ladongi sebagai sumber daya air di Kolaka Timur.
Wilayah Ladongi merupakan lumbung pangan di daerah Kolaka Timur. Di sana, ada lahan sawah hingga 5.400 hektar. Pada 2017, lahan ini menghasilkan padi sebanyak 22.263 ton atau produktivitas 4 ton per hektar.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, Bendungan Ladongi merupakan satu dari tiga bendungan yang disiapkan untuk mengurangi risiko banjir di Sultra.
Bendungan kedua adalah Ameroro dengan kapasitas tampung 55,1 juta meter kubik di Kabupaten Konawe. Kini, proses pembangunannya dalam tahap konstruksi dengan pembangunan fisik mencapai 25 persen. Bendungan ketiga adalah Pelosika yang nantinya akan membendung Sungai Konawe dan kini masih dalam tahap persiapan (review design).
”Dengan dua bendungan besar, Ladongi dan Ameroro, yang rata-rata berkapasitas tampung 50 juta meter kubik, insya Allah sudah bisa mengatasi banjir yang sering melanda Kolaka Timur, Konawe, dan hilirnya,” kata Basuki.
Pejabat Pembuat Komitmen Bendungan Ladongi Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi IV Kendari Iping Mariandana menyampaikan, Bendungan Ladongi menelan anggaran Rp 1,2 triliun dengan masa pengerjaan selama lima tahun. Berbagai tantangan dihadapi selama masa pembangunan bendungan pertama di Sultra ini.
”Terakhir adalah pengerjaan longsoran di salah satu sisi bendungan. Setelah dimaksimalkan, penanganan bisa diselesaikan meskipun sebelumnya mengalami gagal lelang,” kata Iping.
Longsor, ia melanjutkan, rawan terjadi di dinding penahan sandaran kiri bendungan akibat kondisi geologi yang tersusun dari batuan lunak. Titik itu pada konstruksi selebar 150 meter dengan ketinggian 25-30 meter.
Penanganan longsoran direncanakan dengan teknik bored pile agar aman dari cuaca ataupun ancaman gempa. Setelah dilelang dengan anggaran Rp 38 miliar, pengerjaan ini mengalami gagal lelang. Pengerjaan lalu dilakukan dengan berbagai upaya sehingga longsoran bisa diatasi.
Pengajar Fakultas Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo, La Baco Sudia, menjabarkan, pembangunan bendungan tentu akan baik untuk pertanian di wilayah. Sebab, air hujan bisa tertampung dan dialirkan sesuai kebutuhan. Hal ini bisa memperluas luasan wilayah pengairan pertanian, yang berujung pada peningkatan produktivitas.
Terlebih lagi, tambah Baco, dengan dibangunnya dua bendungan lain di Konawe dan sebagian Kolaka Timur, prospek pertanian semakin cerah. Bendungan juga nantinya untuk pembangkit listrik yang mendukung berbagai industri di wilayah ini.
”Yang paling penting, bagaimana pemerintah daerah mempertahankan lahan pertanian agar tidak terjadi alih fungsi. Sebab, untuk apa bendungan dengan nilai triliunan ketika nanti lahan pertanian habis,” kata Baco.
Di Kolaka Timur dan Konawe saat ini marak penanaman ratusan hektar tanaman sawit. Tanaman ini tumbuh di bantaran sungai hingga lahan perkebunan warga. Tidak hanya itu, pertambangan juga terus berkembang di wilayah ini, dengan nikel sebagai bahan utama.