Sekadar memiliki pekerjaan tidak menjamin seseorang lepas dari jerat kemiskinan. Dibutuhkan lapangan kerja yang layak serta peningkatan kapasitas masyarakat untuk menekan angka kemiskinan.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi umumnya memiliki angka pengangguran yang rendah. Lapangan kerja layak, akses bagi masyarakat pekerja, serta program jaminan sosial ketenagakerjaan yang kuat dibutuhkan untuk menekan angka kemiskinan.
Data Profil Kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2021 mencatat, ada 26,5 juta orang miskin di Indonesia, atau mencakup 9,71 persen dari total penduduk. Jumlah itu turun 1,05 juta orang dibandingkan dengan posisi pada September 2020 sebanyak 27,55 juta orang atau 10,19 persen dari total penduduk.
Ada 16 provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi hingga mencapai dua digit, yaitu Papua (27,38 persen), Papua Barat (21,82 persen), Nusa Tenggara Timur (20,44 persen), Maluku (16,3 persen), Aceh (15,53 persen), dan Gorontalo (15,41 persen).
Selanjutnya, Bengkulu (14,43 persen), Nusa Tenggara Barat (13,83 persen), Sumatera Selatan (12,79 persen), Sulawesi Tengah (12,18), DI Yogyakarta (11,91 persen), Sulawesi Barat (11,85 persen), Sulawesi Tenggara (11,74 persen), Lampung (11,67 persen), Jawa Tengah (11,25 persen), dan Jawa Timur (10,59 persen).
Jika disandingkan dengan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Agustus 2021, sebagian besar daerah itu sebenarnya memiliki angka pengangguran yang rendah.
Hanya Maluku dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) 6,93 persen dan Aceh dengan TPT 6,3 persen yang kondisinya berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan. Kedua provinsi itu masuk dalam 10 besar daerah dengan TPT tertinggi.
Sementara itu, sisanya mencatat angka TPT di kisaran 3-4 persen dan termasuk dalam 10 besar daerah dengan TPT terendah. Ambil contoh, Gorontalo dan NTB memiliki TPT terendah secara nasional, yakni 3,01 persen. Ada pula Papua, Bengkulu, Sulteng, dan NTT, yang masing-masing mencatat TPT 3,33 persen, 3,65 persen, 3,75 persen, dan 3,77 persen.
Menurut peneliti Ketenagakerjaan di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional, Triyono, idealnya, daerah dengan angka pengangguran rendah juga memiliki tingkat kemiskinan rendah. Namun, nyatanya, sekadar memiliki pekerjaan tidak menjamin seseorang dapat lepas dari jerat kemiskinan.
Idealnya, daerah dengan angka pengangguran rendah juga memiliki tingkat kemiskinan rendah. Namun, nyatanya, sekadar memiliki pekerjaan tidak menjamin seseorang dapat lepas dari jerat kemiskinan.
”Bicara soal pengangguran dan kemiskinan, urusannya tidak hanya kapasitas daerah dalam membuka lapangan kerja dan berapa banyak orang yang terserap, tetapi juga bagaimana meningkatkan akses terhadap pekerjaan yang layak itu, apakah masyarakat mendapat jaminan sosial serta upah yang layak dalam bekerja,” katanya saat dihubungi, Selasa (18/1/2021).
Solusi yang bisa ditempuh ada dari sisi suplai dan demand pasar kerja, yakni meningkatkan ketersediaan lapangan kerja formal yang layak serta meningkatkan kapasitas dan keterampilan masyarakat di daerah terkait agar bisa mengakses kerja layak.
Terlebih, mengingat masih banyaknya angkatan kerja Indonesia yang terserap di sektor informal yang minim kepastian dan perlindungan kerja. ”Semakin tinggi pekerja terserap di lapangan kerja informal, ekonominya semakin tidak stabil,” kata Triyono.
Pentingnya jaminan sosial
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah jaminan program jaminan sosial ketenagakerjaan yang kuat. Sejauh ini, jumlah pekerja formal ataupun informal yang terdaftar dalam program BP Jamsostek masih minim.
”Pemerintah daerah harus memiliki kapasitas, kewenangan, dan keberanian untuk memastikan masyarakat mendapatkan perlindungan dan jaminan sosial dalam bekerja,” ujarnya.
Sementara itu, pemerintah menilai bahwa program pemulihan ekonomi nasional (PEN) selama pandemi berhasil menekan angka pengangguran dan kemiskinan secara umum. Kondisi ekonomi yang mulai membaik juga ikut mengurangi jumlah orang yang menganggur dan jatuh miskin.
Pada tahun 2021, realisasi sementara total anggaran perlindungan sosial, baik melalui belanja pemerintah pusat maupun transfer daerah dan dana desa, adalah Rp 480 triliun atau 130,5 persen dari pagu APBN 2021.
”Untuk tahun 2022 ini, pemerintah memastikan program perlindungan sosial akan tetap kuat dan besarannya akan disesuaikan dengan kecepatan pemulihan ekonomi,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu.
Untuk tahun 2022 ini, pemerintah memastikan program perlindungan sosial akan tetap kuat dan besarannya akan disesuaikan dengan kecepatan pemulihan ekonomi.
Ia menambahkan, tren pemulihan ekonomi akhir-akhir ini juga diharapkan mampu berdampak pada pembukaan lapangan kerja baru. ”Untuk menyerap penambahan angkatan kerja baru dan pekerja yang sempat terkena pemutusan hubungan kerja di masa pandemi,” ucapnya.
Febrio menambahkan, perbaikan di sektor ketenagakerjaan juga didukung oleh penyaluran belanja pemerintah yang pada akhirnya ikut menciptakan lapangan kerja. Dalam PEN terdapat beberapa program yang didesain untuk membantu sektor ketenagakerjaan, seperti Kartu Prakerja dan program prioritas padat karya.