Seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk menciptakan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan, diluncurkanlah Taksonomi Hijau. Ini untuk mengurangi praktik, pembangunan ekonomi harus dibayar dengan kerusakan lingkungan.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
Selama ini, ada anggapan yang mengemuka bahwa untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi, ada ”harga” yang harus dibayar, yaitu kerusakan lingkungan dan berdampak secara sosial. Ada investasi pembangunan pabrik atau fasilitas yang menciptakan peningkatan nilai ekonomi, tetapi harus merusak lingkungan dan menggusur warga sekitar. Adapun investasi itu acap kali sebagian berasal dari pendanaan lembaga jasa keuangan, baik kredit bank maupun dengan berbagai instrumen di pasar modal.
Anggapan dan praktik inilah yang sedang dicoba untuk diubah. Semua berawal dari kesadaran menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang telah menyeruak dan menjadi tuntutan dunia. Ini tak lain karena perubahan iklim dunia kian nyata, bukan sekadar wacana.
Upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dunia telah menjadi agenda global, termasuk Indonesia. Hal ini tertuang dalam ratifikasi Persetujuan Paris, melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim.
Seluruh negara, termasuk Indonesia, menyampaikan komitmen atas upaya penurunan emisi GRK. Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 41 persen pada 2030 dengan dukungan internasional atau 29 persen dengan usaha sendiri yang disampaikan melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).
Dampaknya, sektor jasa keuangan pun kini dituntut untuk lebih selektif mendanai perusahaan dan entitas yang bisa menciptakan bisnis berkelanjutan. Ini didasarkan pada prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola. Berangkat dari itulah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis apa yang mereka sebut Taksonomi Hijau. Dokumen ini dirilis OJK bersama Presiden Joko Widodo pada acara Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2022 di Jakarta, Kamis (20/1/2022).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata taksonomi berarti kaidah dan prinsip yang meliputi pengklasifikasian obyek. Taksonomi Hijau berisi pengklasifikasian sektor-sektor pengembangan ekonomi hijau. Pertumbuhan ekonomi hijau, mengutip laman Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, adalah pertumbuhan ekonomi yang kuat, tetapi juga ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta pembangunan yang inklusif secara sosial.
Dalam penyusunan dokumen Taksonomi Hijau, OJK bekerja sama dengan delapan kementerian lain. Mereka adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertanian, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Taksonomi Hijau disusun dengan mengkaji 2.733 klasifikasi sektor dan subsektor ekonomi, di mana 919 diantaranya telah dikonfirmasi oleh kementerian terkait. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang telah memiliki standar nasional sektor ekonomi hijau seperti China atau Uni Eropa.
Adapun taksonomi hijau diharapkan akan menjadi pedoman bagi penyusunan kebijakan insentif dan disinsentif dari berbagai kementerian dan lembaga, termasuk OJK. Selain itu, ini diharapkan menjadi acuan bagi industri jasa keuangan, investor, pelaku bisnis untuk mengungkapkan informasi terkait pembiayaan, pendanaan, atau investasi untuk kegiatan ekonomi hijau. Hal ini untuk mendorong pertumbuhan sektor keuangan dalam pendanaan dan pembiayaan kegiatan ekonomi hijau.
Khusus untuk sektor jasa keuangan, OJK juga sudah meluncurkan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan tahap II 2021-2025. Ini melanjutkan peta jalan tahap sebelumnya untuk periode 2015-2019. Isinya lebih kurang sama, yakni meningkatkan kesadaran sektor jasa keuangan pada ekonomi berkelanjutan.
Pendanaan sektor jasa keuangan ke sektor ekonomi hijau serta lingkungan, sosial, dan tata kelola diprediksi akan semakin membesar dan menjadi tren global pada 2022. Hal ini diprediksi oleh Asia Global Private Banking and Wealth HSBC pada awal tahun ini.
Kesadaran ini dipicu terus meningkatnya emisi karbon di seluruh dunia. Data dari Bloomberg yang diolah HSBC Global Private Banking menyebutkan, pada 2020 total emisi karbon dunia mencapai 34.000 juta ton karbon dioksida (CO2). Peningkatan paling signifikan disumbang negara-negara Asia sejak dekade 2000 hingga 2020. Padahal, dekade sebelumnya, Eropa dan Amerika Serikat menjadi penyumbang emisi karbon terbesar.
Berkaca dari hal ini, investasi berwawasan lingkungan, sosial, dan tata kelola akan menjadi tren di kawasan Asia sebagai penyumbang emisi karbon terbanyak. Harapannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang bisa didorong tanpa menukarnya dengan kerusakan lingkungan, tanpa mengganggu ketenteraman tata sosial, serta dicapai dengan tata kelola yang baik.