Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Masih Bermasalah
Dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021, kementerian/lembaga dan pemda wajib menggunakan produk usaha kecil serta koperasi dari hasil produksi usaha dalam negeri. Wajib dialokasikan minimal 40 persen dari nilai anggaran.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berdasarkan catatan Ombudsman Republik Indonesia, masih ada masalah dalam hal pengadaan barang dan jasa pemerintah. Sementara kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi mayoritas adalah penyuapan terkait pengadaan barang dan jasa. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah berkomitmen membenahi ekosistem pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Yeka Hendra Fatika, mengatakan, pada 2021, jumlah pengaduan terkait pengadaan barang dan jasa secara nasional tercatat 118 laporan. Dari jumlah tersebut, 53 di antaranya ditindaklanjuti dalam proses pemeriksaan, sedangkan sisanya belum diselesaikan.
Substansi laporan kepada ORI sebagian besar adalah tidak dilayani saat menyampaikan keberatan, baik oleh pejabat pembuat komitmen (PPK) maupun inspektorat. Pada tahap pendaftaran, hal yang paling sering dilaporkan adalah terkait persyaratan, sementara di tahap penetapan pemenang, sering dilaporkan penetapan tak sesuai ketentuan. Pada tahap pelaksanaan kontrak, banyak pelapor yang telah melaksanakan pekerjaan, tetapi belum dibayar.
”Ada satu kasus dengan terlapor salah satu BUMN. Barang dan jasanya sudah dilakukan sejak 2017-2018, tetapi belum dibayar hingga 2021. Setelah melapor ke Ombudsman, bisa selesai sebulan. Jadi, kebanyakan problem komunikasi,” kata Yeka dalam peluncuran aplikasi Pengaduan Pengadaan Barang dan Jasa oleh Ombudsman RI, yang digelar hibrida, Rabu (2/2/2022).
Sebelum ada aplikasi laporan pengaduan pengadaan barang dan jasa, ada sejumlah kendala ditemui, seperti sering kali tak ada tindak lanjut, tak bisa memantau kelanjutan atau status pengaduan, dan butuh banyak biaya untuk cetak dan kirim dokumen. Selain itu, sering kali aduan tak sampai ke bagian terkait.
Dengan adanya aplikasi ini, masyarakat dimudahkan untuk melapor kepada Ombudsman. ”Harapannya, dengan aplikasi laporan tersebut, semakin banyak animo masyarakat untuk melapor ke Ombudsman. Dengan demikian, semakin banyak keuangan negara yang bisa diselamatkan,” ujar Yeka.
Kepala Biro Manajemen Barang Milik Negara (BMN) dan Pengadaan pada Kementerian Keuangan Edy Gunawan menambahkan, banyaknya laporan pengaduan pengadaan barang dan jasa salah satunya disebabkan persepsi negatif dari peserta tender sedari awal. Itu juga dipicu ketidakjelasan informasi terkait pengadaan.
Mengenai adanya dugaan keselahan prosedur oleh pengelola pengadaan barang dan jasa, Edy setuju untuk ditindaklanjuti lebih dalam. Namun, ada juga pengaduan yang tidak berdasar. Artinya, prosedur dan pelaksanaan oleh vendor sudah berjalan, tetapi ada pihak-pihak tertentu yang ingin mengacaukannya.
Menurut dia, laporan-laporan yang masuk perlu dipilah. ”Jangan sampai seluruh pengaduan dinyatakan harus diselesaikan, tetapi tidak dilihat kenapa ada pengaduan itu. Jika tidak, waktu akan habis untuk menyelesaikan pengaduan-pengaduan,” katanya.
Dari catatan korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2004 hingga Juni 2021, menurut Tenaga Ahli Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) KPK Fridolin Berek, 761 kasus terkait penyuapan. Hampir semua penyuapan juga terkait dengan pengadaan barang dan jasa.
Tiga faktor penyebab antara lain tidak tahu atau memang berniat jahat. Korupsi yang diniati pun terbagi dua, ada yang karena kebutuhan dan yang memang sudah menjadi perilaku. ”Lalu, bicara UU Tindak Pidana Korupsi, tindak pidana suap itu ada yang menyuap dan ada yang menerima suap. Keduanya kena,” ujarnya.
Peluang usaha mikro
Sementara itu, Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Abdullah Azwar Anas berkomitmen membenahi ekosistem pengadaan barang dan jasa pemerintah. Hal ini demi mengoptimalkan potensi belanja pemerintah sebesar Rp 1.200 triliun yang menjadi peluang pasar produk dalam negeri dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk koperasi.
Seperti tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kementerian/lembaga atau pemerintah daerah wajib menggunakan produk usaha kecil serta koperasi dari hasil produksi usaha dalam negeri. Wajib dialokasikan minimal 40 persen dari nilai anggaran belanja barang/jasa untuk belanja produksi usaha dalam negeri tersebut.
“Ada Rp 1.200 triliun belanja, tetapi sayangnya belanja untuk UMKM kita amat sangat kecil. Dalam waktu dekat, kami akan bertemu dengan Menteri BUMN dan beberapa kementerian lain. Sebab, dalam Perpres (Nomor 12 Tahun 2021) jelas (ada amanat) 40 persen. Kami juga mendorong toko daring berjalan,” kata Azwar. Namun, tak disebutkan tahun anggaran terkait potensi belanja pemerintah Rp 1.200 triliun itu.