Triliunan Rupiah Dana Eks PNPM Dialihkelolakan ke BUMDes
Triliunan rupiah dana bergulir eks PNPM akan ditata ulang dengan dasar hukum yang jelas. Dengan demikian, dana jumbo milik negara tersebut lebih jelas pertanggungjawabannya.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi atau Kementerian Desa PDTT mempercepat transformasi unit pengelola kegiatan eks Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat atau PNPM ke Badan Usaha Milik Desa Bersama Lembaga Keuangan Desa karena tenggatnya kurang dari 10 bulan. Namun, pelaksanaannya masih menemui sejumlah kendala. Dana eks PNPM tersebut mencapai triliunan rupiah.
Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar mengatakan, Badan Usaha Milik Desa Bersama Lembaga Keuangan Desa (BUMDesma LKD) adalah bagian dari BUMDesma (kumpulan beberapa BUMDes) yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian desa. Tujuan sama ada pada BUMDes atau tingkat desa.
Adapun BUMDesma LKD didorong sebagai jawaban dari ketidakjelasan status hukum unit pengelola kegiatan (UPK) yang mengelola dana bergulir masyarakat eks Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan. UPK muncul setelah program tersebut selesai atau dibubarkan pada 2015.
Selama ini, kata Halim, ada dana bergulir yang seluruhnya senilai Rp 12,7 triliun dalam bentuk uang serta Rp 596 miliar dalam bentuk aset. Namun, UPK yang jumlahnya 5.300 (tingkat kecamatan) tidak memiliki status badan hukum yang jelas. Akhirnya, UPK itu membentuk badan usaha perseroan (PT) atau koperasi.
”Akan tetapi, PT dan koperasi itu belum merepresentasikan kelembagaan yang tepat karena dana bergulir di masyarakat itu sumbernya dari pemerintah pusat. Koperasi dan PT tak memiliki dasar mengelola dana itu. Maka, yang tepat adalah BUMDesma LKD,” ujar Halim di sela-sela rapat koordinasi (rakor) teknis terkait transformasi tersebut, di Jakarta, Kamis (17/3/2022).
Halim mengemukakan, sesuai regulasi, transformasi tersebut memiliki tenggat hingga Desember 2022. Oleh karena itu, pihaknya melakukan percepatan agar perubahan dapat dilakukan sehingga dana bergulir masyarakat dapat dikelola oleh lembaga dengan status hukum yang jelas. Pada akhirnya dana tersebut dapat membantu warga miskin di perdesaan. Setelah rakor teknis, diupayakan audit oleh inspektorat dapat segera dilakukan.
Ada dana bergulir yang seluruhnya senilai Rp 12,7 triliun dalam bentuk uang serta Rp 596 miliar dalam bentuk aset. Namun, UPK yang jumlahnya 5.300 (tingkat kecamatan) tidak memiliki status badan hukum yang jelas.
Akan tetapi, banyak kendala dalam prosesnya. ”Karena mereka sudah nyaman dengan model lama, yakni UPK, sehingga tak mau diubah menjadi BUMDesma LKD. Sebab, nanti asetnya menjadi jelas milik siapa. Tentu, saya tak prediksikan 5.300 UPK itu seluruhnya bertransformasi. Pasti ada yang tercecer dengan masalahnya masing-masing,” ujar Halim.
Untuk UPK yang sulit diubah, imbuh Halim, pihaknya akan berkomunikasi lebih lanjut dengan berbagai pihak. ”Yang jelas, ini upaya agar BUMDes betul-betul menjadi ikon percepatan peningkatan ekonomi warga desa. Juga utamanya, pemulihan ekonomi di level desa,” ucapnya.
Adapun regulasi tentang BUMDes dan BUMDesma tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa. Dalam peraturan tersebut sudah disebutkan bahwa badan usaha milik desa merupakan sebuah badan hukum.
Menurut data Kementerian Desa PDTT, per 17 Maret 2022 terdapat 10.811 BUMDes pendaftar badan hukum dengan rincian 4.710 dokumen terverifikasi, 4.333 perbaikan dokumen, dan 1.768 dalam proses pendaftaran. Juga terdapat 91 BUMDesma pendaftar badan hukum dengan rincian 25 dokumen terverifikasi, 54 perbaikan dokumen, dan 12 proses pendaftaran.
Sementara itu, khusus BUMDesma LKD, sebanyak 189 tercatat sebagai pendaftar berbadan hukum. Rinciannya, 82 sudah terverifikasi dokumen, 33 perbaikan dokumen, dan 74 dalam proses pendaftaran.
”Rapat koordinasi teknis ini untuk membahas strategi penguatan BUMDes lewat inkubasi dan upaya percepatan pembentukan BUMDesma LKD, dari sebelumnya UPK eks PNPM Mandiri Perdesaan. Akan terbagi empat zona dan ini yang pertama,” ujar Direktur Jenderal Pengembangan Ekonomi dan Investasi Desa Kementerian Desa PDTT Harlina Sulistyorini.
Takut tergusur
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Rahmadi, yang hadir dalam rapat itu, mengatakan, sejumlah UPK di Tapin masih berupaya mempertahankan eksistensi mereka. Ada kekhawatiran jika lembaga diubah, mereka yang terlibat di kepengurusan bakal kehilangan sumber pemasukan.
”Di sana (UPK), mereka mendapat insentif atau gaji serta ada juga yang mendapat tunjangan berdasarkan surplus (keuangan) dari kegiatan-kegiatan mereka. Mereka takut tergusur. Padahal, dari jauh hari kami sudah melakukan pendekatan bahwa jika lembaganya berubah, yang menduduki posisi-posisi itu tetap mereka,” ujar Rahmadi.
Rahmadi menambahkan, jika lembaga diubah, mereka yang berada di kepengurusan UPK juga khawatir akan ada regulasi terkait pengawasan yang ketat, baik dari masyarakat maupun pemerintah daerah. Pasalnya, sejak statusnya tidak jelas atau dalam lima tahun terakhir, UPK seakan bebas tanpa pengawasan. Pembukuannya pun tidak ada yang memantau.
Menurut Rahmadi, sebagian besar kegiatan UPK berbentuk koperasi simpan pinjam. Adapun pada era sebelumnya, ada musyawarah antardesa yang menjadi forum pertanggungjawaban atau penilaiam kinerja UPK. ”Namun, sejak ada Undang-Undang Desa, seolah terabaikan. Tak ada institusi yang membina dan mengawasi mereka. Akhirnya, bebas saja. Di tempat kami, bahkan ada yang praktiknya fiktif hingga berurusan dengan aparat penegak hukum,” katanya.
Rahmadi berharap lewat rapat koordinasi teknis yang digelar Kementerian Desa PDTT akan ada langkah lebih jelas dalam transformasi UPK, termasuk audit oleh inspektorat pemerintah daerah. Pasalnya, menurut amanat perundangan, dana itu sebagai dana masyarakat meski awalnya dari negara. Sementara inspektorat tugasnya sebatas mengkaji dan tidak sampai mengaudit.
Di Tapin, total uang bergulir di seluruh UPK (total 12 UPK) sebesar Rp 22 miliar. Menurut Rahmadi, jika dibiarkan, memang ada potensi angka tersebut bakal menyusut. Padahal, uang tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan produktif yang bertujuan menyejahterakan masyarakat.