Kelebihan pasokan listrik menjadi tantangan di tengah belum meratanya akses listrik maupun keandalan pasokan listrik. Pemerintah perlu menciptakan sumber permintaan listrik baru.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Pasar kelistrikan dalam negeri tengah menghadapi persoalan serius. Tahun ini akan ada tambahan pasokan daya listrik 6.000 megawatt untuk sistem Jawa-Bali. Padahal, tambahan permintaan listrik hanya sekitar 800 megawatt. Pemerataan ketersediaan listrik masih menjadi pekerjaan rumah.
PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) pantas resah. Listrik yang dihasilkan, tetapi tak diserap konsumen, tetap harus dibayarkan PLN kepada produsen listrik swasta (independent power producer/IPP). Itu adalah konsekuensi kontrak antara PLN dan IPP berskema take or pay. Artinya, berapa pun daya listrik yang dihasilkan, yang terserap konsumen maupun yang tidak terserap, mewajibkan PLN membayar pembelian tenaga listrik kepada IPP.
Kenapa sampai tak terserap? Tak pernah ada yang menduga sebelumnya. Megaproyek 35.000 MW yang diresmikan pada Mei 2016 oleh Presiden Joko Widodo berawal dari optimisme permintaan daya listrik yang tinggi dengan skenario pertumbuhan ekonomi 7-8 persen per tahun. Sayangnya, skenario tersebut tak sesuai harapan. Ekonomi hanya tumbuh rata-rata 5 persen, dan kondisi kian berat saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada awal 2020.
Saat pandemi, permintaan listrik turun drastis. Industri, pusat bisnis, komersial, dan perkantoran banyak yang tutup. Konsumsi listrik di tempat-tempat tersebut anjlok karena pandemi mengharuskan masyarakat berdiam di rumah atau bekerja dari rumah. Hanya ada sedikit kenaikan konsumsi daya listrik di tingkat rumah tangga.
Pada saat yang sama, meski berlimpah setrum, konsumsi listrik per kapita Indonesia masih 1.123 per kilowatt jam (kWh) untuk status sampai 2021. Bandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang konsumsi listrik per kapitanya masing-masing 4.000 kWh dan 8.000 kWh. Konsumsi listrik per kapita dikait-kaitkan dengan urusan produktivitas ekonomi.
Indonesia juga masih dihadapkan pada masalah rasio elektrifikasi. Target rasio elektrifikasi 100 persen pada 2020 belum tercapai dengan realisasi pada 2021 sebesar 99,45 persen. Rasio elektrifikasi 100 persen menunjukkan bahwa seluruh penduduk Indonesia mampu mengakses listrik.
Sesungguhnya melimpahnya pasokan listrik bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi baru. Sebagai contoh, realisasi investasi di sektor industri membutuhkan syarat, salah satunya, ketersediaan pasokan listrik. Apabila di suatu wilayah pasokan listriknya kurang andal, investor akan berpikir ulang dan mengalihkan tujuan investasinya ke tempat lain. Jadi, dengan berlimpahnya pasokan listrik di Indonesia seharusnya bisa menjadi daya tarik untuk tumbuhnya investasi baru, baik dari asing maupun dalam negeri.
Target rasio elektrifikasi 100 persen pada 2020 belum tercapai dengan realisasi pada 2021 sebesar 99,45 persen. Rasio elektrifikasi 100 persen menunjukkan bahwa seluruh penduduk Indonesia mampu mengakses listrik.
Namun, tentu saja ketersediaan pasokan listrik yang andal bukan menjadi satu-satunya syarat. Kemudahan perizinan, ketersediaan infrastruktur, termasuk isu-isu ketenagakerjaan, menjadi pertimbangan lain investor sebelum memutuskan berinvestasi. Setidaknya, ketersediaan pasokan listrik telah menyelesaikan satu masalah.
Oleh karena itu, pemerintah turut bertanggung jawab meningkatkan serapan listrik yang berlimpah tersebut. Salah satu caranya adalah menciptakan kemudahan berinvestasi, kemudahan perizinan berusaha, tentu tanpa harus melanggar aturan. Selain menjadi sumber baru serapan listrik, juga menjadi sumber serapan tenaga kerja dalam negeri.
Sementara itu, beberapa program pemerintah dan PLN, seperti pemakaian kompor listrik ataupun pengembangan kendaraan listrik, diharapkan dapat berkontribusi terhadap peningkatan konsumsi listrik domestik. Namun, rencana ini tidak bisa diwujudkan dalam waktu singkat. Kompor listrik butuh pembuktian apakah lebih murah dan efisien ketimbang kompor berbahan bakar elpiji.
Selain itu, pemakaian kompor listrik masih tak lepas dari isu harga yang mahal ataupun keandalan pasokan listrik itu sendiri. Tak bisa dibayangkan apabila di tengah-tengah memasak tiba-tiba listrik padam. Soal keandalan pasokan listrik, data pada 2021 menunjukkan indeks lama pemadaman rata-rata tiap pelanggan per tahun (system average interruption duration index/SAIDI) mencapai 6 jam. Sementara indeks frekuensi pemadaman rata-rata tiap pelanggan per tahun (system average interruption frequency index/SAIFI) sebanyak empat kali.
Program lain yang sedang digencarkan adalah pengembangan kendaraan listrik. Pemakaian kendaraan listrik di Indonesia menjadi gantungan bagi PLN untuk meningkatkan serapan listrik. Lagi-lagi, program ini juga belum lepas dari isu harga kendaraan listrik itu sendiri. Harga mobil listrik rata-rata di kisaran Rp 500 juta-Rp 600 juta per unit atau jauh di atas rata-rata daya beli masyarakat Indonesia yang di kisaran Rp 300 juta per unit.
Berkaca dari berbagai hal itu, pemerintah dan PLN harus punya strategi terpadu dan matang yang bisa menyeimbangkan antara pasokan dan permintaan listrik. Selain itu, pemanfaatan sumber energi terbarukan terasa kian signifikan untuk mengurangi biaya penyediaan energi primer pembangkit listrik. Sebab, tenaga angin, surya, air, atau panas bumi disediakan alam tanpa harus dibeli layaknya batubara atau minyak.