Seiring tingginya harga minyak mentah dan gas alam dunia, kenaikan harga BBM dan elpiji di dalam negeri kian tak terhindarkan. Dampak kenaikan itu mesti diantisipasi secara cermat.
Oleh
MEDIANA, ARIS PRASETYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM jenis pertalite dan solar, elpiji, serta tarif listrik sebagai respons atas meroketnya harga minyak mentah dunia. Dampak dari menaikkan harga energi tersebut mesti dipertimbangkan sangat matang. Selain itu, daya beli kelompok masyarakat kelas bawah juga wajib dijaga.
Rencana kenaikan harga BBM, elpiji, dan tarif listrik tersebut disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam rapat kerja di Komisi VII DPR, Rabu (13/4/2022), di Jakarta. Menurut Arifin, asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam APBN 2022 yang sebesar 63 dollar AS per barel jauh di bawah harga riil yang pada Maret 2022 sebesar 98,4 dollar AS per barel.
Sementara harga kontrak gas (CP Aramco) untuk elpiji 839,6 dollar AS per ton atau melonjak dari awal tahun yang berkisar 569 dollar AS per ton.
”Untuk jangka menengah, strategi kami adalah melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak jenis pertalite, solar, dan mempercepat bahan bakar pengganti. Misalnya, bahan bakar gas atau bioetanol. Penyesuaian harga BBM subsidi akan mengikuti harga keekonomiannya,” kata Arifin.
Untuk bahan bakar gas, ujar Arifin, salah satu strategi jangka menengah pemerintah adalah menaikkan harga jual eceran. Ia meyakini cara itu mampu mengurangi tekanan terhadap APBN. Strategi tersebut juga akan diikuti dengan skema subsidi elpiji langsung kepada pengguna yang berhak disubsidi.
Selain BBM dan elpiji, menurut Arifin, pemerintah juga berencana menaikkan tarif listrik sebagai strategi jangka pendek untuk merespons dampak kenaikan harga minyak dunia. Ia memastikan rencana tersebut dilakukan tahun ini. Potensi penghematan kompensasi jika tarif listrik dinaikkan sebesar Rp 7 triliun-Rp 16 triliun.
Menanggapi rencana itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno berpendapat, pemerintah perlu mendetailkan rencana kenaikan harga pertalite, solar, elpiji, dan tarif listrik beserta waktu realisasinya. Detail seperti itu penting karena berkaitan dengan dampak yang bakal dirasakan masyarakat dan sektor industri.
Penting bagi pemerintah menjelaskan kepada masyarakat terkait dinamika kenaikan harga minyak mentah dunia dan dampaknya ke harga BBM eceran dalam negeri.
Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto, saat membacakan kesimpulan rapat kerja, mengatakan, penting bagi pemerintah menjelaskan kepada masyarakat terkait dinamika kenaikan harga minyak mentah dunia dan dampaknya ke harga BBM eceran dalam negeri. Hal penting berikutnya adalah pemerintah harus meningkatkan pengawasan distribusi BBM dan menindak badan usaha/perseorangan yang terbukti menimbun atau membeli BBM subsidi yang bukan hak mereka.
Waktu harus tepat
Secara terpisah, Kepala Departemen Riset Industri dan Regional Kantor Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani mengatakan, kenaikan harga minyak mentah dunia di luar kendali Indonesia. Semua negara mengalami hal yang sama.
”Kemampuan keuangan pemerintah terbatas. Situasi pemerintah sudah sulit jika subsidi energi terus ditambah. Sementara di sisi lain pemerintah masih harus memberikan stimulus penanganan Covid-19. Keuangan badan usaha milik negara (BUMN), seperti Pertamina, juga sudah tertekan,” ujar Dendi.
Oleh karena itu, menurut Dendi, menaikkan harga jual energi tidak terelakkan. Hanya saja, pemerintah harus cermat menentukan waktu yang tepat untuk menaikkan harga. Jika kenaikan tersebut dilakukan saat Ramadhan, ini bukan langkah bijak. Dia menyarankan realisasi dilakukan setelah Idul Fitri 2022.
Dendi juga memberikan perhitungan, jika harga elpiji 3 kilogram dinaikkan 10 persen, pertambahan inflasi 0,35 persen. Apabila harga pertamax naik 39 persen, inflasi naik 0,20 persen. ”Pemerintah tetap harus mengendalikan inflasi dari sumber lain dan menjaga daya beli masyarakat, terutama kelompok kelas bawah. Subsidi energi kepada mereka tetap harus ada, seperti tarif listrik untuk mereka tidak dinaikkan,” tuturnya.
Head of Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov menambahkan, rencana pemerintah menaikkan harga energi tidak hanya akan menciptakan inflasi di tingkat konsumsi, tetapi juga di tingkat produksi. Apalagi, salah satu sasaran pemerintah adalah menaikkan harga BBM jenis solar yang selama ini jadi input produksi.
”Situasi seperti itu berpotensi menciptakan pemutusan hubungan kerja. Pada akhirnya, laju pemulihan ekonomi tidak berjalan. Walaupun argumentasi pemerintah (menaikkan harga energi) kuat, seperti menjaga APBN dan keuangan BUMN energi, kami memandang pemerintah seharusnya fokus ke distribusi energi yang tepat sasaran,” ucap Abra.
Mengutip Bloomberg pada Rabu sore, harga minyak mentah jenis Brent ada di level 106 dollar AS per barel, sedangkan harga gas alam di level 6,79 dollar AS per juta british thermal unit (MMBTU). Harga tersebut melesat jauh dibandingkan awal pandemi pada Maret 2020 di mana harga minyak mentah jenis Brent di kisaran 30 dollar AS per barel dan harga gas alam 2 dollar AS per MMBTU.
Rencana pemerintah menaikkan harga energi tidak hanya akan menciptakan inflasi di tingkat konsumsi, tetapi juga di tingkat produksi.
Lonjakan harga ini, selain disebabkan tingginya permintaan akibat pulihnya ekonomi sejumlah negara dari pandemi, juga dipicu konflik bersenjata Rusia-Ukraina. Rusia adalah pemasok sekitar 10 persen minyak mentah dunia dan produsen utama gas di Eropa.
Dampak kenaikan harga komoditas energi tersebut di Indonesia, per 1 April 2022, PT Pertamina (Persero) menaikkan harga pertamax dari Rp 9.000 per liter menjadi Rp 12.500 per liter. Selain BBM, harga elpiji nonsubsidi 12 kg juga naik dari semula Rp 162.000 per tabung menjadi Rp 182.000 per tabung. Kenaikan harga tersebut berlaku mulai Minggu (27/2).
Kementerian Keuangan mencatat, besaran subsidi energi pada Januari 2022 Rp 10,2 triliun. Angka itu melonjak lebih dari empat kali lipat dibandingkan Januari 2021 yang sebesar Rp 2,3 triliun. Lonjakan ini berpotensi membebani APBN di tengah keterbatasan kapasitas fiskal.