Tak Cukup Berkelanjutan, Industri Kelapa Sawit Juga Perlu Resiliensi
Pandemi Covid-19 mengingatkan kita akan pentingnya resiliensi, selain pertumbuhan produksi dan keberlanjutan dalam bisnis. Termasuk dalam industri kelapa sawit.
Oleh
ADI PRINANTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usaha perkebunan kelapa sawit tak cukup hanya memastikan pertumbuhan produksi dan keberlanjutan (sustainability) guna mempertahankan eksistensinya, tetapi juga perlu kelenturan (resiliensi). Resiliensi menjadi makin krusial ketika industri kelapa sawit, seperti juga dialami usaha di berbagai bidang lain, terdampak pandemi Covid-19 dan hal lain, seperti konflik Rusia-Ukraina.
Dosen IPB University, Bayu Krisnamurthi menyampaikan pandangan itu dalam diskusi terbatas di Jakarta, Selasa (12/4/2022). Selain Bayu, hadir pula sebagai pembicara Director of Sustainability and Stakeholder Relations Asian Agri Bernard A Riedo; dan Head of Operations Asian Agri Omri Samosir. Diskusi digelar sebagai bagian dari peluncuran Asian Agri 2030, strategi bisnis jangka panjang demi memastikan keberlangsungan bisnis agar sejalan dengan filosofi bisnis perusahaan.
Menurut Bayu, pandemi Covid-19 mengingatkan kita bahwa dalam industri, pertumbuhan produksi tidak cukup, harus ada keberlanjutan. ”Tetapi, sustainability saja juga tidak cukup, harus ada resilience. Tiga komponen itulah yang membuat industri tetap bertahan di tengah berbagai gempuran, seperti pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina,” kata Wakil Menteri Pertanian 2009-2011 itu.
Ia menambahkan, resiliensi juga penting karena ternyata harga minyak goreng dan CPO yang begitu tinggi tidak selalu berarti baik. Jika dilihat dari sisi bisnisnya, tentu luar biasa. ”Bisnis mana yang gak senang ketika harga produknya naik dua kali lipat? Tetapi, dari sisi keberlanjutannya akan menjadi tanda tanya besar karena ada fenomena petani enggan melakukan replanting,” ujarnya.
Bayu menganalisis, kenaikan harga juga terjadi karena perang antara Ukraina dan Rusia, dua produsen minyak nabati terbesar di Eropa. Dua aspek yang layak diwaspadai adalah kemungkinan blokade terhadap minyak dari Rusia dan keterlambatan proses tanam bunga matahari karena perang. Keduanya bakal membuat minyak mereka tidak bisa diperdagangkan.
”Kalau tidak ada proses produksi dan distribusi untuk sepertiga minyak nabati Eropa, masalah harga CPO dan minyak goreng mahal akan berlanjut. Resiliensi kita diuji dalam konteks hal ini. Kita mengapresiasi Asian Agri yang menjalankan program bisnis jangka panjang demi sustainability, dengan acuan SDG. Tetapi, rasanya dalam konteks aktual sekarang, mungkin ini belum cukup. Bukan salah Asian Agri, tapi situasinya memang seperti itu,” tutur Bayu.
Bernard A Riedo menjelaskan, Asian Agri 2030 mengacu pada filosofi bisnis grup perusahaan, yaitu bisnis yang baik untuk komunitas (community), negara (country), iklim (climate), pelanggan (customer), dan perusahaan (company). ”Dengan lima unsur yang diawali huruf C, konsep ini dinamai 5Cs,” ujar Bernard.
Komitmen keberlanjutan Asian Agri 2030 terdiri atas empat pilar, yakni kemitraan dengan petani, pertumbuhan inklusif, iklim positif, serta produksi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, dengan setiap pilar disertai sejumlah target.
Dalam kemitraan dengan petani, misalnya, ada target meningkatkan pendapatan petani mitra hingga dua kali lipat melalui replanting (penanaman kembali). Dalam pilar pertumbuhan inklusif tercantum target mengatasi kemiskinan ekstrem di sekitar area operasional perusahaan. Adapun di pilar produksi bertanggung jawab dan berkelanjutan, ditetapkan target tidak membuka lahan baru untuk menjadi area kebun kelapa sawit.
Omri Samosir menambahkan, kemitraan dengan petani merupakan proses panjang. ”Kemitraan dengan petani telah berjalan sejak sekitar 30 tahun lalu sejak pelaksanaan program transmigrasi. Sebagai salah satu mitra terpenting Asian Agri, kami berkepentingan untuk mengungkit pendapatan petani, dengan tetap mewujudkan komitmen pembangunan berkelanjutan,” katanya.
Bayu menambahkan, resiliensi membutuhkan antisipasi menyeluruh terhadap kemungkinan terjadi masalah dalam rantai pasok. ”Dalam kasus minyak goreng, dari tanah (ketika tandan kelapa sawit mulai ditanam) sampai minyak dikemas dalam pouch, itu harus ada antisipasinya kalau terjadi masalah. Ini yang ke depan harus menjadi komitmen kita semua,” ucapnya.