Pemerintah Pertimbangkan Transformasi Skema Subsidi Energi
Pemerintah mempertimbangkan melakukan transformasi skema subsidi agar lebih tepat sasaran, yakni dinikmati oleh mereka yang miskin atau rentan miskin. Implementasinya akan disesuaikan dengan kondisi perekonomian terkini.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Subsidi energi, khususnya elpiji, dinilai banyak yang kurang tepat sasaran karena juga dinikmati oleh kelas menengah atas. Terkait hal itu, pemerintah mempertimbangkan untuk melakukan transformasi skema subsidi, yakni dari subsidi terhadap barang menjadi subsidi terhadap orang atau sistem tertutup.
”(Jadi) Agar lebih tetap sasaran, hanya mereka yang miskin atau rentan miskin yang menikmati (subsidi). Dengan skema subsidi terbuka seperti saat ini, dikhawatirkan volumenya bisa menjadi tidak terbatas karena masyarakat yang harusnya tidak masuk kategori penerima subsidi, (yakni) karena tidak miskin atau rentan miskin, justru ikut menikmatinya,” kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI Edy Priyono melalui keterangan tertulis, Rabu (25/5/2022).
(Jadi) Agar lebih tetap sasaran, hanya mereka yang miskin atau rentan miskin yang menikmati (subsidi). Dengan skema subsidi terbuka seperti saat ini, dikhawatirkan volumenya bisa menjadi tidak terbatas karena masyarakat yang harusnya tidak masuk kategori penerima subsidi, (yakni) karena tidak miskin atau rentan miskin, justru ikut menikmatinya.
Edy menuturkan, implementasi transformasi skema subsidi energi akan disesuaikan dengan waktu, terutama melihat kondisi perekonomian terkini. Pemerintah juga masih menunggu kesiapan dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). ”Ini untuk menjaring masyarakat yang berhak mendapat subsidi dan tidak mengganggu daya belinya,” ujarnya.
Dikutip dari siaran pers Kantor Staf Presiden RI, hingga April 2022, realisasi belanja negara untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji mencapai Rp 34,8 triliun. Jumlah ini lebih tinggi 50 persen dibandingkan periode yang sama pada 2021, yakni Rp 23,3 triliun.
Kenaikan subsidi BBM dan elpiji merupakan dampak dari kenaikan harga migas di pasar global. ”Kita masih banyak mengimpor migas sehingga ketika harga beli naik dan kita ingin mempertahankan harga, subsidi harus naik,” ujar Edy.
Edy mengatakan, pemerintah tetap mempertahankan subsidi BBM khususnya jenis pertalite dan elpiji tiga kilogram untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah kenaikan harga-harga komoditas sebagai imbas dari ketidakpastian global.
Pemerintah, menurut Edy, sebenarnya bisa saja mencabut subsidi dan melepas BBM jenis pertalite serta elpiji tiga kilogram dengan harga keekonomian demi menjaga stabilitas anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Namun, opsi tersebut tidak dipilih dan pemerintah justru menambah anggaran belanja untuk subsidi energi.
Adapun DPR RI telah menyetujui penambahan alokasi dan kompensasi untuk subsidi energi pada 2022. Rinciannya, Rp 71,8 triliun untuk subsidi BBM dan LPG serta Rp 3,1 triliun untuk subsidi listrik.
Ketidakpastian global
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menuturkan semua negara di dunia saat ini mengalami situasi sulit akibat ketidakpastian global. ”Kita tahu ketidakpastian global, hampir setiap hari berubah-ubah terus. Begitu Covid-19 selesai, semua negara sebetulnya merencanakan bagaimana pemulihan ekonominya. Tetapi, banyak yang belum selesai, muncul perang di Ukraina dan Rusia,” katanya saat memberikan pengarahan pada ”Evaluasi Aksi Afirmasi Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia” di Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat, Selasa (24/5/2022) sore.
Kepala Negara meminta semua pihak memiliki perasaan yang sama mengenai keadaan sekarang yang memang tidak mudah. Ada dua problem yang berat saat ini. Pertama, urusan energi, seperti BBM, gas, listrik. Kedua, urusan pangan. ”Seluruh negara, di mana pun, dua persoalan ini menjadi masalah besar,” kata Presiden.
Jokowi menuturkan kenaikan harga BBM di negara-negara lain. Harga per liter BBM di Singapura Rp 32.000, di Jerman Rp 31.000, Thailand Rp 20.000. Adapun harga pertalite di Indonesia masih Rp 7.650 dan pertamax Rp 12.500.
”(Negara) Yang lain sudah jauh sekali. Kenapa harga (BBM) kita masih seperti ini? Ya karena kita tahan terus. Tapi subsidi ini, kan, membesar, membesar, membesar. Sampai kapan kita bisa menahan ini? Ini pekerjaan kita bersama-sama,” ujar Presiden Jokowi.
Seperti diberitakan Kompas.id (2/3/2022), Ketua Komisi VII DPR dari Partai Nasdem, Sugeng Suparwoto, menuturkan, pendistribusian elpiji bersubsidi selama ini kerap menimbulkan distorsi atau tidak tepat sasaran. Mengutip riset Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) serta Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, tingkat ketidaptepatan penyaluran elpiji bersubsidi mencapai 35 persen.
Oleh karena itu, menurut Sugeng, subsidi elpiji sebaiknya diberikan kepada penerima, yakni masyarakat miskin, dan bukan pada subsidi harga. Dia mendesak pemerintah segera merealisasikan skema subsidi pada penerima tersebut dengan memperbaiki validitas data penerima subsidi. Pemerintah daerah sebaiknya dilibatkan untuk memverifikasi data agar akurat dan tepat sasaran.