Alarm bencana pangan telah berbunyi dan upaya menangani problem-problem pangan di dalam negeri tak bisa lagi ditempuh dengan cara biasa. Kombinasi pandemi, perang, dan iklim bisa membawa dunia pada kelaparan massal.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Laporan Global tentang Krisis Pangan 2022 menyajikan fakta yang memilukan: hampir 193 juta orang mengalami kerawanan pangan akut. Angka itu bertambah 40 juta orang dibandingkan dengan laporan serupa oleh Program Pangan Dunia atau World Food Programme tahun 2020. Konflik dan gangguan keamanan diidentifikasi sebagai pemicu utama yang mendorong tingkat kerawanan pangan.
Akan tetapi, faktor lain, seperti pandemi Covid-19, gangguan rantai pasok, dan perubahan iklim, berkelindan hingga menghasilkan dampak yang ”sempurna”. Kombinasi atas beberapa faktor itu semakin menjauhkan sebagian warga dunia ke akses pangan. Harga pangan yang tinggi juga berisiko mengurangi asupan kalori dan nutrisi, khususnya pada kelompok rentan.
Bank Dunia mencatat, per 19 Mei 2022, Indeks Harga Pertanian naik 42 persen dibandingkan dengan Januari 2022. Harga jagung dan gandum, misalnya, naik masing-masing 55 persen dan 91 persen selama kurun waktu tersebut. Adapun harga rata-rata bulanan beberapa jenis beras umumnya meningkat tiga bulan terakhir. Beras Vietnam dengan kadar broken 5 persen, misalnya, naik dari 384,2 dollar AS per ton pada Februari 2022 menjadi 402,4 dollar AS per ton pada April 2022.
Situasi itu turut mendorong inflasi di banyak negara. Dalam Food Security Update yang diperbarui pada 24 Mei 2022, Bank Dunia menyebutkan, pada Januari-April 2022, sebanyak 92,9 persen negara berpenghasilan rendah, 84,2 persen negara berpenghasilan menengah ke bawah, dan 78 persen negara berpenghasilan menengah ke atas mengalami inflasi di atas 5 persen dan tak sedikit yang inflasinya mencapai dua digit.
Pada 18 Mei 2022, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyebutkan, tingkat kelaparan global berada pada titik tertinggi baru. Hanya dalam dua tahun, jumlah orang yang sangat rawan pangan meningkat dua kali lipat, yakni dari 135 juta orang sebelum pandemi Covid-19 menjadi 276 juta orang saat ini.
Alarm bencana pangan telah berdering kencang. Sementara situasi ke depan masih serba tidak pasti. Apalagi jika perang Rusia-Ukraina berlanjut, sementara rantai pasok masih terganggu dan negara-negara produsen pangan kian memproteksi produknya demi kepentingan dalam negerinya. Harga pangan, energi, dan inflasi berisiko tetap tinggi tahun ini.
Menambah beban
Situasi itu tertransmisi ke Tanah Air. Sebagai pengimpor sekaligus pengekspor beberapa komoditas pangan, Indonesia mengalami dampak baik dan buruk atas kenaikan harga pangan di pasar internasional. Konsumen Indonesia menanggung dampak kenaikan harga gandum, kedelai, jagung, dan bahkan minyak nabati kendati Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit dunia.
Indonesia memang tidak masuk daftar negara yang mengalami rawan pangan dan membutuhkan bantuan mendesak menurut laporan krisis pangan tersebut. Namun, kenaikan harga sejumlah komoditas pangan akan makin membebani kelompok masyarakat miskin dan rentan. Apalagi, selain pangan dan energi, harga sejumlah kebutuhan juga naik.
Selain berisiko mengurangi asupan kalori, kenaikan harga pangan juga akan berdampak pada pemenuhan gizi dan perkembangan kognitif anak-anak dalam jangka panjang. Khususnya bagi mereka yang berasal dari keluarga miskin dan rentan miskin. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2022 mencatat, 19,81 persen anak-anak berusia 0-17 tahun di Indonesia memiliki keterbatasan akses terhadap makanan. Selain itu, 10,45 persen anak masuk kategori tidak dapat menyantap makanan sehat dan bergizi, sementara 9,17 persen anak hanya menyantap sedikit jenis makanan.
Indonesia juga diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas. Sepanjang Januari-April 2022, total pendapatan negara mencapai Rp 853,6 triliun atau tumbuh 45,9 persen secara tahunan, terutama ditopang oleh kenaikan harga komoditas dan perbaikan ekonomi. Pemerintah juga berencana menambah anggaran perlindungan sosial menjadi Rp 431,5 triliun pada APBN 2022 guna menjaga daya beli masyarakat miskin dan rentan miskin.
Akan tetapi, ada pekerjaan rumah yang belum tuntas di sektor pangan, terutama terkait kesejahteraan petani. Unjuk rasa petani sawit di Istana Merdeka, Jakarta, dan sejumlah wilayah, pada 17 Mei 2022, menyiratkan masih ada ketimpangan. Harga tinggi minyak sawit di pasar dunia tidak linier dengan harga tandan buah segar di tingkat petani.
Situasi serupa dialami petani padi. Ketika harga beras global naik, kasus harga gabah (GKP) di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) justru melonjak dari 4,47 persen pada Januari 2022 menjadi 33,6 persen pada April 2022.
Pengendalian harga pangan juga masih jadi pekerjaan yang belum usai. Hasil survei Kompas periode Januari 2022 menunjukkan, hanya 51 persen responden yang menyatakan puas dengan upaya pemerintah mengendalikan harga-harga barang kebutuhan pokok.
Kini, ketika alarm bencana pangan telah berbunyi, upaya menangani problem-problem pangan di dalam negeri tak bisa lagi dengan setengah hati. Kombinasi pandemi, perang, dan iklim bisa membawa dunia pada kelaparan massal.