Transisi Energi di Sektor Manufaktur Butuh Dukungan Regulasi
Sektor swasta meminta pemerintah memberikan ruang gerak dan dukungan regulasi untuk melakukan langkah dekarbonisasi yang lebih cepat di sektor industri. Menjawab kebutuhan itu, pemerintah mengkaji skema ”power wheeling”.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mendorong transisi energi di sektor industri manufaktur masih menghadapi sejumlah tantangan serius. Meskipun minat di kalangan pelaku industri untuk melakukan dekarbonisasi belakangan ini terus meningkat seiring dengan tren ekonomi global, implementasinya kerap kali harus terbentur regulasi dan kebijakan pemerintah.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat, saat ini 76 persen industri manufaktur masih memakai energi fosil secara langsung untuk beroperasi. Total keseluruhan konsumsi energi di sektor pengolahan berasal dari sumber energi listrik (23 persen), batubara (33 persen), gas (33 persen), bahan bakar minyak (10 persen), dan LPG (1 persen).
Meski demikian, Ketua Komite Tetap Energi Baru dan Terbarukan Kadin Indonesia Muhammad Yusrizki, Kamis (28/7/2022), mengatakan, akhir-akhir ini desakan untuk melakukan transisi energi dari berbasis fosil menjadi terbarukan semakin kuat di kalangan pelaku industri.
Dalam jejaring rantai pasok dunia yang semakin mengedepankan prinsip industri hijau, perusahaan yang tidak melakukan transisi energi dan masih meninggalkan jejak karbon yang banyak akan kesulitan bersaing di kancah global.
Dengan kata lain, ujarnya, di tengah lanskap ekonomi dunia yang semakin mengedepankan prinsip keberlanjutan, motif yang kini mendorong industri untuk melakukan dekarbonisasi adalah rasa takut.
”Rasa takut kehilangan order, investor, atau fasilitas pembiayaan. Jadi, bukan ini lagi sekadar gaya-gayaan mau beralih ke industri hijau, tetapi sudah urusan hidup dan mati. Kalau tidak net zero, tidak dapat order,” ujar Yusrizki dalam diskusi yang digelar Kadin bersama Suryanesia, perusahaan rintisan energi terbarukan di bidang panel surya.
Meski demikian, ikhtiar untuk menggunakan energi yang lebih bersih itu kerap terhambat kebijakan dan regulasi pemerintah. Transisi energi di sektor kelistrikan berjalan relatif lambat karena masih tingginya ketergantungan pada energi fosil di sektor listrik.
Menurut Yusrizki, ada banyak cara untuk melakukan dekarbonisasi di sektor manufaktur tanpa harus menunggu transisi energi di sektor kelistrikan. Sejumlah industri pun sekarang sudah mulai melakukan inisiatif menjalankan dekarbonisasi lewat pemanfaatan biomassa untuk mengoperasikan mesin ketel uap atau boiler dan menjalankan kegiatan produksi yang lebih bersih.
”Tentu dekarbonisasi di sektor kelistrikan itu penting, tetapi mohon maaf, kami pelaku industri tidak bisa menunggu. Kami harus bergerak lebih cepat karena perdagangan itu dilakukan dari sekarang, ancaman datangnya sekarang,” katanya.
Oleh karena itu, sektor swasta meminta pemerintah memberikan ruang gerak dan dukungan regulasi yang kuat untuk melakukan langkah dekarbonisasi itu sendiri. Misalnya, melalui membeli listrik rendah karbon tanpa perlu menunggu terwujudnya jaringan listrik nasional berbasis energi terbarukan.
”Setidaknya berikan sektor swasta opsi untuk membeli renewable energy dari sekarang. Apakah melalui skema power wheeling, apakah melalui direct investment, atau melalui green tariff. Karena sekarang ini belum ada regulasi yang membuka opsi-opsi itu,” ujarnya.
Senada, Direktur Sustainable Development Danone Indonesia Karyanto Wibowo mengatakan, tantangan melakukan transisi energi di Indonesia cukup berat, mengingat ketergantungan pada energi fosil yang masih tinggi, infrastruktur untuk energi hijau yang belum optimal, serta aspek regulasi yang masih tarik ulur dengan kepentingan yang tumpang tindih.
Oleh karena itu, menurut Karyanto, perusahaan harus mencari cara-cara lain untuk mengurangi emisi karbon tanpa menunggu pemerintah. ”Di Danone, yang kami lakukan adalah menekan sebisa mungkin pemakaian energi kotor. Mesin lama diganti dengan mesin baru yang lebih bersih, berinovasi dari segi kemasan, dan mengganti bahan bakar boiler dengan biomassa,” katanya.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, pemerintah saat ini sedang mengembangkan regulasi untuk mempercepat dekarbonisasi di sektor industri. Salah satunya, mengkaji implementasi skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan listrik.
Skema power wheeling memungkinkan sektor swasta untuk mengembangkan sumber energi terbarukan sendiri dengan memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero). Energi listrik dari fasilitas pembangkit yang dimiliki swasta itu dapat ditransfer ke fasilitas operasi PLN secara langsung.
”Contohnya, seseorang punya pabrik di Cikarang, tetapi punya sumber PLTA (pembangkit listrik tenaga air) di Subang. Lewat power wheeling, listrik dari Subang bisa disalurkan dan dipakai oleh pabrik di Cikarang, dengan menggunakan jaringan transmisi milik PLN, apakah memungkinkan menyewa ke PLN,” ujar Dadan.
Skema tersebut sebelumnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Penyediaan Tenaga Listrik dan Pemanfaatan Bersama Jaringan Tenaga Listrik. Aturan itu sedang direvisi dan akan dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang saat ini sedang dibahas pemerintah dan DPR.
”Saat ini daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk RUU itu sedang kami bahas. Kami akan mengajak sektor swasta dan pelaku industri untuk berdiskusi. Cara-cara seperti ini bisa menjawab kekhawatiran pelaku industri mengenai bagaimana PLN tidak bisa menyediakan ruang dekarbonisasi yang lebih cepat seperti diharapkan industri,” kata Dadan.