Tekanan terhadap Ekosistem ”Start Up” Masih Berlanjut
Tekanan terhadap ekosistem usaha rintisan bidang teknologi digital atau ”start up” masih berlanjut. Investor utama mulai merugi dan akan berdampak ke arus pembiayaan ”start up”.
Tekanan terhadap ekosistem usaha rintisan bidang teknologi digital atau start up masih berlanjut. Perusahaan modal ventura besar SoftBank Vision Fund kembali membukukan kerugian. Sementara itu, Y Combinator yang biasa terlibat dalam pembiayaan tahap awal mulai mengurangi target jumlah start up yang ikut dalam program akselerasinya.
Vision Fund, perusahaan modal ventura bagian dari unit bisnis SoftBank, mencatatkan kerugian 23 miliar dollar AS pada triwulan II-2022. Triwulan sebelumnya, Vision Fund yang menjadi andalan SoftBank juga telah mengalami kerugian. Situasi ini akan memaksa perusahaan mulai melakukan pemotongan biaya yang dramatis. Beredar pula kabar soal rencana pemutusan hubungan kerja.
Mengutip artikel Masayoshi Son ’ashamed’ of focus on profits after SoftBank logs record $23bn loss (Financial Times, 8 Agustus 2022), selain terpukul oleh kekalahan teknologi global selama April hingga Juni, SoftBank menderita kerugian 820 miliar yen. Ini disebabkan oleh anjloknya nilai tukar yen terhadap dollar AS, yang jatuh ke level terendah pada Juli. Kerugian itu menunjukkan fakta bahwa sekitar setengah dari total pinjaman SoftBank adalah dalam mata uang dollar AS.
Konglomerat Masayoshi Son, dalam konferensi pers Senin lalu, mengakui bahwa strategi investasi globalnya yang terkenal agresif itu seharusnya bisa lebih selektif. Dalam pengakuan kritis lainnya, Son secara terbuka mempertanyakan strategi investasi perburuan unicorn dari Vision Fund senilai 100 miliar dollar AS, uang yang juga dimaksudkan untuk meletakkan dasar dari rencana pengembangan 300 tahun.
Sejak ketidakpastian makroekonomi global terjadi beberapa bulan terakhir, Vision Fund sebenarnya telah memangkas anggaran untuk berinvestasi di start up.
Sejak ketidakpastian makroekonomi global terjadi beberapa bulan terakhir, Vision Fund sebenarnya telah memangkas anggaran untuk berinvestasi di start up. Pada triwulan I-2022, Vision Fund hanya menyalurkan 600 juta dollar AS, sedangkan triwulan I tahun sebelumnya sebesar 20,6 miliar dollar AS.
SoftBank juga telah mengumumkan melepas semua saham yang masih tersisa di perusahaan teknologi raksasa ride hailing Uber. Langkah ini menyusul kerugian yang dialami oleh Vision Fund.
Nikkei Asia melalui artikel SoftBank zeroes in on Southeast Asia in search of next Grab (2 Agustus 2021) menyebutkan, SoftBank Group telah berinvestasi ke sejumlah start up ternama di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Beberapa di antaranya telah menjadi unicorn. Start up unicorn merupakan perusahaan rintisan bidang teknologi digital yang memiliki valuasi sedikitnya 1 miliar dollar AS.
SoftBank Group mulai berpartisipasi pada putaran pendanaan keempat Grab (total 250 juta dollar AS) pada Desember 2014. Lalu, grup ini kembali berpartisipasi dalam putaran pendanaan keenam Grab (total 790 juta dollar AS) pada September 2016, putaran ketujuh (2 miliar dollar AS) pada Juli 2017, dan putaran kedelapan (6,2 miliar dollar AS).
Pada 2014, SoftBank Group juga berinvestasi di lokapasar Tokopedia. Tahun lalu, SoftBank Group melalui SoftBank Vision Fund 2 menyuntikkan pendanaan ke Carro, platform penjualan mobil bekas. Carro yang juga beroperasi di Indonesia sekarang telah menyandang predikat unicorn start up otomotif pertama di Asia Tenggara.
Baca Juga: Paradoks Bisnis Teknologi Digital
Perusahaan modal ventura besar lainnya, seperti Y Combinator, mengutip TechCrunch pada artikel Y Combinator narrows current cohort size by 40 percent, citing downturn and funding environment (7 Agustus 2022), menyampaikan, mereka dengan sengaja mengurangi 40 persen jumlah start up yang akan masuk program akselerasi pada musim panas 2022.
Banyak investor berpendapat, start up tahap pre-seeds dan seeds—yang mana Y Combinator berkecimpung—telah kebal terhadap ketidakpastian makroekonomi global. Langkah terbaru oleh Y Combinator ini menggambarkan bahwa start up tahap awal tidak kebal.
Y Combinator turut ikut dalam putaran investasi ataupun program akselerasi bisnis sejumlah start up di Indonesia. Sebagai contoh, Y Combinator bersama AC Ventures memberikan suntikan pendanaan kepada Pina, aplikasi investasi dan perencana keuangan pribadi.
Mengutip data Crunchbase.com, Y Combinator telah terlibat dalam 4.504 putaran pendanaan. SoftBank Vision Fund telah melakukan 403 investasi dan 35 diversity investment.
Biaya transaksi
Saat dikonfirmasi, akhir pekan lalu, External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya mengatakan, pihaknya tidak ingin mengomentari spekulasi pasar yang tengah terjadi. Tokopedia memilih fokus dengan segala upaya untuk meningkatkan kualitas pengalaman pengguna.
Mulai 3 Agustus 2022, Tokopedia menerapkan biaya jasa aplikasi sebesar Rp 1.000 untuk setiap transaksi produk fisik yang berlangsung, baik melalui laman maupun aplikasi Tokopedia. Biaya ini hanya akan dikenakan satu kali, bahkan untuk pembelian lebih dari satu barang dalam satu transaksi.
Transaksi produk keuangan, digital, TopAds, zakat, dan donasi tidak dikenai biaya jasa sebesar Rp 1.000, kecuali transaksi pembulatan emas, donasi, atau pulsa yang disertakan dalam pembelian produk fisik. Ekhel menekankan bahwa implementasi kebijakan baru perusahaan itu merupakan bagian dari upaya meningkatkan kualitas pengalaman pengguna.
Bendahara Asosiasi Modal Ventura untuk Start Up Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Chamdani saat dihubungi pada Minggu (14/8/2022), di Jakarta, menilai, keputusan Tokopedia mengenakan biaya jasa Rp 1.000 untuk setiap transaksi produk fisik merupakan bentuk pertanggungjawaban sebagai perusahaan publik untuk membuat kondisi laporan keuangan perusahaan lebih sehat.
Salah satu faktor yang menyebabkan SoftBank Vision Fund merugi adalah normalisasi permintaan yang dialami oleh perusahaan-perusahaan teknologi seiring dengan mulai meredanya pandemi Covid-19 di berbagai negara.
Sementara mengenai fenomena perusahaan modal ventura besar, seperti SoftBank Vision Fund yang mengalami kerugian, Edward lebih memandang bahwa dampaknya harus dilihat pada satu per satu start up Indonesia yang pernah menerima investasi dari perusahaan modal ventura itu.
Apabila ada start up yang telah memiliki fundamental model bisnis kuat dan bahkan telah membukukan laba, fenomena itu seharusnya tidak memengaruhi. Start up bersangkutan juga berpeluang mendapatkan dukungan lebih karena kisah sukses mereka.
Baca Juga: GoTo Melantai Saat Kondisi Tidak Baik-baik Saja
Chief Economist PT Bank Permata Tbk Josua Pardede berpendapat, salah satu faktor yang menyebabkan SoftBank Vision Fund merugi adalah normalisasi permintaan yang dialami oleh perusahaan-perusahaan teknologi seiring dengan mulai meredanya pandemi Covid-19 di berbagai negara. Penurunan permintaan ini kemudian mengakibatkan pengurangan pendapatan pada start up dan berimbas ke investor utama.
Kondisi itu bukan hanya terjadi pada satu perusahaan modal ventura, melainkan juga ke berbagai perusahaan modal ventura. Di Indonesia, lanjut Josua, sejumlah perusahaan modal ventura mendorong portofolio start up untuk menggeser orientasi bertumbuh pada perolehan laba. Salah satu bentuknya adalah peningkatan biaya layanan transaksi start up.
”(Adanya) Penambahan biaya jasa saat bertransaksi daring berpotensi memperlambat permintaan ke mitra usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), terutama bagi yang mempunyai produk dengan margin lebih terbatas. Ini akan menjadi tantangan baru yang akan berdampak signifikan bagi UMKM yang hanya menyediakan produk secara daring,” tuturnya.
Mitra UMKM yang memiliki kanal alternatif penjualan luring, dampak dari pengenaan biaya transaksi layanan ke konsumen oleh start up tidak akan terlalu memengaruhi mereka.
Sejumlah konsumen pun secara gradual mulai kembali berbelanja luring sejak pelonggaran pembatasan sosial. Bagi mitra UMKM yang memiliki kanal alternatif penjualan luring, dampak dari pengenaan biaya transaksi layanan ke konsumen oleh start up tidak akan terlalu memengaruhi mereka.
Adapun Head of Center Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda berpendapat, start up teknologi digital pada akhirnya akan beralih memakai strategi menggaet laba. Misalnya, Bukalapak dengan strategi Mitra Bukalapak menggandeng warung luring.
”Adanya pengenaan biaya layanan transaksi bisa menjadi salah satu alternatif meningkatkan pendapatan perusahaan walaupun start up yang menerapkan kebijakan pemberlakuan biaya layanan transaksi akan bersaing dengan start up lain yang masih menerapkan promo,” katanya.