Negara-negara G20 Mencari Stabilitas Harga Gas Dunia
Energi gas dinilai penting sebagai elemen transisi menuju era energi bersih. Kendati merupakan energi fosil, karbon yang disumbang relatif rendah. Stabilitas ketersediaan dan harga gas dunia penting.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Sebagai negara produsen gas, Indonesia tidak terdampak secara langsung akan guncangan pasokan dan harga gas bumi, akibat dari situasi global yang tak menentu. Namun, bersama negara-negara anggota G20, Indonesia turut berkepentingan mencari solusi jangka pendek demi tercapainya stabilisasi harga gas. Pengembangan gas juga penting sebagai jembatan menuju era energi yang lebih bersih.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengatakan, konflik geopolitik di Eropa turut memicu krisis energi dan menekan perekonomian negara-negara G20. Sebelumnya, rantai pasok komoditas juga terpengaruh tingginya permintaan setelah ekonomi pulih pascapandemi Covid-19.
Pada komoditas gas alam cair (LNG), situasi-situasi tersebut berpengaruh pada suplai yang terdisrupsi, volatilitas harga, dan underinvestment. Tutuka menuturkan, ada peningkatan signifikan pada LNG spot price, seperti pada Japan Korea Marker (JKM) yang meningkat menjadi hampir 60 dollar AS per juta british thermal unit (MMBTU) pada pertengahan Agustus. Sebelum ada ketegangan di Eropa, harga berkisar 20-40 dollar AS per MMBTU.
“Sebagai negara produsen dan eksportir gas, Indonesia tak terdampak langsung. (Namun), bagaimanapun, kami menilai situasi akan membaik, khususnya bagi negara-negara yang terdampak lonjakan dan ketidakpastian pasokan dan harga (gas),” ujar Tutuka yang hadir secara daring dalam Energy Transition Working Group (ETWG) G20 Presidensi Indonesia “Exploring Short-term Solutions to the Global Gas Crisis” di Nusa Dua, Bali, Senin (29/8/2022).
Berdasarkan data Kementerian ESDM, sebanyak 64,3 persen produksi gas Indonesia pada 2021 digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, di antaranya untuk kebutuhan industri, pupuk, listrik, dan ekspor (termasuk LNG). Indonesia juga memanfaatkan gas untuk kebutuhan domestik LNG dan elpiji, hingga untuk kebutuhan bahan bakar transportasi.
Mengenai ekspor LNG, total volume pada 2021 ialah 459,55 juta MMBTU. China adalah importir terbesar LNG Indonesia dengan volume 251,82 juta MMBTU, diikuti Korea Selatan 80,23 juta MMBTU, dan Jepang 63,76 juta MMBTU. Di hilir LNG, Indonesia mengekspor 110,98 juta MMBTU dengan tujuan utama Jepang, Korea Selatan, dan China Taipei.
Tutuka menuturkan, dari perspektif negara produsen, pihaknya menekankan pentingnya peningkatan investasi gas bumi baik hulu maupun hilir. “(Itu) untuk menjamin keamanan pasokan dan lebih jauh lagi untuk menstabilkan pasar gas. Hal ini dapat dicapai antara lain melalui kebijakan yang menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Penting juga untuk mengembangkan lebih banyak infrastruktur untuk meningkatkan pemanfaatan gas alam,” jelasnya.
Indonesia menyadari bahwa stabilisasi pasar gas global membutuhkan kerja sama dari semua pihak, termasuk produsen, konsumen, investor, serta para pemangku kepentingan lainnya.
Indonesia, imbuh Tutuka, menyadari bahwa stabilisasi pasar gas global membutuhkan kerja sama dari semua pihak, termasuk produsen, konsumen, investor, serta para pemangku kepentingan lainnya. Diharapkan, semua pihak berkolaborasi dalam menemukan solusi jangka pendek untuk krisis gas global yang terjadi saat ini. Peran LNG di Indonesia pun akan terus dioptimalkan.
“Seperti yang diproyeksikan dalam neraca LNG Indonesia, akan ada peningkatan produksi LNG pada tahun 2028. Dalam 10 tahun ke depan, Indonesia akan mengalami surplus gas hingga 1.715 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD ) dari beberapa proyek potensial di berbagai wilayah Indonesia,” kata Tutuka.
Proyek-proyek itu antara lain di Blok Masela, Maluku, yang akan mulai berproduksi setelah pertengahan dekade ini. Selain itu, proyek IDD (Indonesia Deepwater Development) yang diharapkan dapat mendukung produksi LNG Bontang. Adapun Wilayah Kerja Andaman dan Agung yang diharapkan bisa berkontribusi dalam jangka panjang.
Rendah karbon
Ketua ETWG Yudo Dwinanda Priaadi, mengemukakan, tahun ini, negara-negara G20 menghadapi masa sulit karena adanya disrupsi yang membuat harga energi melonjak. “Isu ini perlu mendapat perhatian dari komunitas internasional. Negara-negara anggota G20 ialah produsen dan konsumen energi terbesar. (Solusi diperlukan) untuk stabilitas harga energi,” katanya.
Stabilitas harga gas, imbuh Yudo, penting karena gas dapat diakses menjadi sumber energi yang lebih bersih, juga untuk pembangkit listrik. Sebagai sumber energi, LNG fleksibel, mudah disimpan, memiliki emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan sumber energi fosil lainnya. Dalam rangka transisi energi, gas pun menjadi opsi untuk terus dikembangkan.
Sebagai sumber energi, LNG fleksibel, mudah disimpan, memiliki emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan sumber energi fosil lainnya.
“Gas juga menjadi material kunci untuk beberapa industri termasuk baja, petrokimia, dan pupuk. Gas juga menjadi kunci penyediaan energi yang lebih bersih dan andal untuk keperluan rumah tangga terutama bagi negara-negara berkembang. Gas bisa menjadi solusi jangka pendek,” jelasnya.
Yudo menambahkan, gas menjadi jembatan dalam pengembangan energi terbarukan. Sebab, gas dapat ditempatkan bersama energi angin dan surya yang terkendala intermitensi (bergantung kondisi cuaca). Akan tetapi, di sisi lain, teknologi penyimpanan energi, perlu terus ditingkatkan skalanya.
Senior Analyst, Head of Gas Group Fossil Energies & International Cooperation Unit, The Institutte of Energy Economics Japan, Hiroshi Hashimoto berpendapat, solusi yang bisa ditempuh adalah peningkatan produksi gas alam dan LNG. Walaupun negara-negara produsen di dunia sudah berupaya untuk memaksimalkan output, mereka perlu lebih diberi tahu bahwa negara-negara konsumen kini membutuhkan lebih banyak gas.
“Lantaran tambahan produksi perlu dikoneksikan dengan pasar, kesiapan infrastruktur dan transportasi perlu disiapkan lebih awal,” kata Hiroshi.
Pernyataan-pernyataan yang dapat menstabilkan pasar gas untuk jangka pendek diperlukan. “Meski produsen (perusahaan-perusahaan) mungkin ingin memaksimalkan penerimaan, mereka paham kenaikan harga yang berlebih bisa menghancurkan pasar. Negara-negara G20 bisa menunjukkan keinginan agar produsen dan konsumen sama-sama senang,” katanya.
Chief Operating Officer (COO) of Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) Koji Hachiyama, saat menyampaikan penutup diskusi, menuturkan, baik perusahaan gas maupun negara pengimpor sama-sama membutuhkan insentif. Selain itu, negara-negara dengan pendapatan rendah perlu dibantu. Juga, perlunya optimalisasi kargo untuk LNG.
Penangkapan karbon
Pada ETWG G20 Presidensi Indonesia di Bali, Senin, juga digelar diskusi mengenai potensi teknologi penangkapan, utilisasi, dan penyimpanan karbon (carbon capture, utilization, andstorage/CCUS). Pengembangan proyek CCUS tersebut antara lain dilakukan oleh PT Pertamina (Persero). Lewat teknologi itu, karbon ditangkap dan dimanfaatkan untuk menghasilkan produk bernilai tambah.
Direktur Utama Pertamina Power Indonesia (PPI) sebagai Subholding Power & New Renewable Energy (Pertamina NRE) Dannif Danusaputro menuturkan, CCUS memegang peranan penting dalam menghadirkan energi yang lebih rendah karbon. Juga sebagai salah satu penunjang tercapai target emisi nol bersih (NZE) pada 2060. Di sisi lain, investasi juga dibutuhkan.
CCUS pun menjadi salah satu proyek dan inisiatif Pertamina dalam dekarbonisasi, selain pemanfaatan energi panas bumi, hidrogen, bioenergi, baterai, dan sistem penyimpanan energi kendaraan listrik serta pengembangan solar-wind-hydro. Sejumlah lokasi potensial CCUS Pertamina, yakni di Kutai-Barito Basin, Central-Sulawesi Basin, East Java Basin, Sunda-Asri Basin, South Sumatera Basin & Jambi Basin, serta North Sumatra offshore & Central Sumatra Basin.