Kerap meresahkan, praktik lintah darat tetap bertahan sejak zaman dulu hingga kini. Mereka terus beradaptasi dan bertransformasi dengan perubahan zaman. Kini mereka jadi lintah darat digital atau pinjol ilegal.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
Di saat musim hujan dan banjir seperti ini, tak jarang kita menemukan lintah berkeliaran di sekitar pekarangan rumah. Acap kali mereka bersembunyi di balik rindangnya pepohonan dan tanaman yang lembab. Kalau tidak waspada, bisa saja kaki atau tangan kita dihinggapinya dan darah kita pun dihisapnya. Korban gigitan lintah kadang perlu penanganan medis yang tepat.
Lintah adalah sedikit fauna yang diperkirakan bertahan dari kepunahan sejak jutaan tahun lalu. Gerakan mereka yang tak pernah terlalu menonjol dan mengintai dari balik ekosistem alam justru berhasil membawa mereka beradaptasi melintas zaman.
Dalam dunia ekonomi, kita juga mengenal lintah. Lebih tepatnya lintah darat. Disebut lintah darat karena mereka juga menghisap seperti lintah. Tentu yang dihisap bukan darah, melainkan uang dari korban dengan cara memberi pinjaman yang disertai bunga selangit dan waktu pembayaran yang singkat.
Seperti halnya lintah yang ada sudah ada sejak lama, praktik lintah darat atau rentenir pun demikian. Berdasarkan penelusuran di Pusat Informasi Kompas (PIK), praktik lintah darat yang meresahkan ini sudah mengemuka sejak puluhan tahun lalu. Pada kasus di Bandung, Jawa Barat, tahun 1975, para lintah darat memberi pinjaman dengan bunga selangit, yakni 20 persen per bulan, artinya dalam setahun menjadi 240 persen (Kompas, 1/8/1975).
Praktik lintah darat ini tidak hanya terjadi di daerah, tetapi juga di Ibu Kota. Saking meresahkannya praktik lintah darat, Kepala Daerah Kepolisian (saat ini Kepala Kepolisan Daerah) Metro Jaya saat itu, yakni Brigjen (Pol) Anton Sudjarwo sampai membentuk tim khusus pada Oktober 1978 (Kompas, 17/10/1978).
Di beberapa daerah, praktik lintah darat ini biasa disebut ”bank titil” atau ”bank plecit”. Disebut bank karena mereka berpraktik meminjamkan dana seperti halnya bank. Namun, ”bank titil” ini bukan lembaga formal seperti halnya bank-bank yang kita kenal. Bedanya lagi, mereka memberi pinjaman tanpa agunan sama sekali dengan bunga yang sangat tinggi dan ditagih dalam waktu singkat. Akhirnya peminjam pun terus dikejar-kejar atau dalam bahasa Jawa di-plecit. Kekayaan peminjam pun tergerus digerogoti perlahan atau di-titil (Kompas, 3/6/1987).
Puluhan tahun berselang, rupanya praktik lintah darat ini masih saja bergentayangan. Jika dulu mereka beroperasi dengan mengintai di pasar-pasar, kini mereka bergentayangan di dunia maya. Mengarungi ombak digitalisasi, para lintah darat zaman now ini siap menawarkan pinjaman tunai secara daring atau biasa disebut pinjaman online atau pinjol ilegal.
Pada pertengahan 2019, Kompas pernah melakukan investigasi tentang pinjol ilegal ini. Tidak lagi mengintai di pasar, para lintah darat digital kini bisa terang-terangan mempromosikan diri di berbagai akun dan iklan media sosial. Masyarakat yang tak waspada bisa terjerat dan dihisap habis olehnya.
Kelakuannya? Sama. Kasih pinjaman uang dengan mudah, cepat, tetapi bunganya mencekik dan waktu pengembaliannya sangat singkat. Sudah begitu, penagihannya dengan intimidasi, pelecehan seksual, hingga merendahkan martabat peminjam. Belum lagi data pribadi peminjam juga dicuri.
Belakangan para lintah darat ini pun mengembangkan modus baru, yakni menjalankan praktik pinjol ilegal berkedok koperasi. Dengan berbadan hukum koperasi, tetapi tidak memiliki anggota dan simpanan wajib, mereka menawarkan pinjaman dengan bunga tinggi dan penagihan kredit dengan cara mengintimidasi.
Pemerintah sendiri terus berupaya memberantas pinjol ilegal. Sejak 2018, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Waspada Investasi (SWI) yang anggotanya terdiri dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan kementerian lembaga lainnya.
Sejak 2018 hingga Agustus 2022, SWI telah memblokir atau menutup pinjol ilegal sebanyak 4.160 entitas. Adapun selama Januari-Agustus 2022, SWI telah menutup 403 entitas pinjol ilegal. Jumlah itu empat kali lipat lebih banyak daripada pinjol legal atau biasa disebut industri teknologi finansial (tekfin) pinjaman antar-pihak (peer to peer lending/P2P lending) yang berizin dan terdaftar OJK yang berjumlah 102 entitas usaha.
Setiap kantor wilayah OJK juga sudah menjalankan program edukasi berupa skema pembiayaan melawan rentenir.
Untuk mencegah lebih banyak masyarakat yang menjadi korban, upaya edukasi dan sosialisasi bahwa pinjol ilegal berbahaya itu harus terus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan, mulai dari regulator, pelaku tekfin, hingga akademisi.
Agar terhindar dari jebakan pinjol ilegal, masyarakat juga perlu lebih waspada dan mengecek legalitas entitas tersebut di situs resmi OJK. Saat ini ada 102 perusahaan tekfin pinjaman antar-pihak yang resmi dan terdaftar di OJK.
Untuk mempercepat pemberantasan pinjaman daring ilegal, SWI telah mengusulkan dalam RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) agar entitas pinjaman daring ilegal digolongkan sebagai pidana. Hal ini agar pemberantasan pinjaman daring ilegal bisa dilakukan langsung tanpa perlu aduan korban ke kepolisian.