Pelabuhan Didorong Sediakan Fasilitas Listrik Darat untuk Kapal
Semua pelabuhan di Indonesia didorong menerapkan penyediaan fasilitas listrik darat (OPS) bagi kapal-kapal yang berlabuh. Selain ramah lingkungan, OPS juga mengurangi penggunaan bahan bakar minyak.
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Demi mewujudkan proses logistik berkelanjutan, khususnya jasa kepelabuhanan, serta menciptakan pengelolaan pelabuhan ramah lingkungan, semua pelabuhan di Indonesia didorong menerapkan penyediaan fasilitas listrik darat (onshore power supply/OPS) bagi kapal-kapal yang berlabuh. Hal itu merupakan salah satu bentuk kemampuan pelabuhan dalam beradaptasi dengan tuntutan perubahan dunia.
Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Arif Toha mengemukakan hal itu dalam pernyataan pers terkait acara State-owned Enterprises International Conference di Nusa Dua, Bali, Selasa (18/10/2022). Bersamaan dengan acara ini, Direktur Utama PT Pelindo Jasa Maritim Prasetyadi dan Direktur Eksekutif Asosiasi Pemilik Pelayaran Nasional Indonesia (INSA) Estu Prabowo menandatangani nota kesepahaman kerja sama penyediaan fasilitas listrik darat.
Direktur Jenderal Perhubungan Laut turut memberikan dukungan melalui penerbitan surat edaran untuk penggunaan listrik darat (OPS). Nota kesepahaman tersebut ditandatangani di sela-sela kegiatan The Business Matching Forum G20 di Bali yang merupakan rangkaian dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang digelar Kementerian BUMN RI di Bali.
Arif mengatakan, nantinya OPS berfungsi untuk menggantikan sumber energi kapal yang sebelumnya menggunakan mesin kapal berbahan minyak menjadi sumber energi listrik. Implementasi OPS merupakan salah satu langkah yang diambil oleh Indonesia dalam hal dekarbonisasi perkapalan.
Implementasi OPS merupakan salah satu langkah yang diambil oleh Indonesia dalam hal dekarbonisasi perkapalan.
OPS juga telah menjadi salah satu aksi mitigasi perubahan iklim dari transportasi laut untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor pelayaran sebagaimana telah dilaporkan dalam capaian penurunan emisi GRK kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak tahun 2019.
”Sebagai regulator, Kementerian Perhubungan melalui Ditjen Perhubungan Laut mendukung aksi tersebut dengan menjadikan program OPS sebagai salah satu kebijakan utama. Kami percaya. OPS lebih efisien dalam biaya dan operasional kapal dan akan sangat bermanfaat bagi perlindungan lingkungan,” kata Arif.
Hal tersebut juga mengacu pada konsep sustainable port development atau green port. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 50 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut secara spesifik. Untuk menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan, otoritas pelabuhan, kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan (KSOP) atau unit penyelenggara pelabuhan (UPP), harus menyediakan fasilitasi pencegahan pencemaran dan menjamin pelabuhan yang berwawasan lingkungan.
Menurut Arif, penerapan ini sejalan dengan strategi awal Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization/IMO Initial GHG Strategy) tentang pengurangan emisi GRK dari sektor pelayaran. Penurunan total emisi GRK tahunan dari pelayaran internasional setidaknya 50 persen pada tahun 2050 dibandingkan pada tahun 2008 dan mengurangi intensitas karbon dari pelayaran internasional untuk mengurangi emisi CO2 sekitar 40 persen pada tahun 2030 dan mengejar upaya menuju 70 persen pada tahun 2050
Selain itu, fasilitas OPS menimbulkan penghematan dan efisiensi bagi konsumsi energi dan biaya bahan bakar minyak yang dikeluarkan kapal ketika bersandar di pelabuhan. Selain memberikan penghematan biaya, fasilitas OPS juga berperan besar dalam mengurangi emisi gas buang kapal sebesar 75-93 persen. ”Hal ini juga sesuai dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030 kepada PBB lewat dokumen Nationally Determined Contribution,” kata Arif.
Menurut Prasetyadi, penandatanganan MOU ini menandai keterlibatan pelabuhan dan perusahaan pelayaran untuk mengambil peran aktif dalam upaya mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas kapal di dermaga. Hal ini menandai komitmen dan kolaborasi dunia pelayaran, mulai dari pemerintah, yaitu Kementerian Perhubungan, Pelindo selaku badan usaha pelabuhan, serta INSA untuk bersama-sama melakukan dekarbonisasi di pelabuhan.
OPS adalah layanan listrik darat untuk kapal-kapal yang sedang melakukan kegiatan bongkar muat di pelabuhan atau terminal untuk menggantikan peran mesin bantu yang digunakan kapal saat bersandar. Dengan demikian, fasilitas ini diharapkan dapat menggantikan penggunaan BBM yang selama ini digunakan perusahaan jasa pelayaran.
Menurut Prasetyadi, selain memberikan manfaat untuk lingkungan, layanan ini juga memberikan efisiensi biaya BBM bagi perusahaan pelayaran dengan rata-rata sekitar Rp 8,2 juta per shipcall atau Rp 2,26 miliar per kapal per tahun. Pengurangan emisi gas buang oleh kapal sangat ditentukan oleh kategori mesin serta tahun pembuatan mesin bantu kapal sehingga nilai efisiensi di setiap terminal bisa berbeda, bergantung dari kapal yang sandar.
Adapun OPS di pelabuhan bagi kapal yang berlayar di perairan Indonesia dapat disediakan oleh badan usaha pelabuhan (BUP) pada terminal yang dikonsesikan dengan pemerintah. OPS harus digunakan dengan cara yang aman dan memadai untuk keperluan operasional kapal selama bersandar dan melakukan kegiatan kepelabuhanan sehingga tidak menggunakan sumber tenaga dari mesin bakar (combustion engine) kapal.
Pengoperasian fasilitas listrik darat (OPS) di pelabuhan bagi kapal yang berlayar di perairan Indonesia oleh BUP dapat berupa sertifikat layak operasi yang dikeluarkan oleh badan klasifikasi. BUP harus mendokumentasikan data penggunaan fasilitas OPS di pelabuhan dan melaporkannya kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut melalui penyelenggara pelabuhan secara berkala setiap tahun.
Sementara itu, perusahaan pelayaran harus segera merencanakan kegiatan operasional kapal-kapalnya untuk menggunakan fasilitas listrik darat di pelabuhan yang telah memiliki fasilitas listrik darat. Mereka harus menyediakan perangkat koneksi standar listrik dan peralatan lain yang diperlukan untuk mengalirkan daya listrik dari fasilitas darat ke kapal secara aman dan memadai.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut telah mengeluarkan aturan terkait penyediaan dan penggunaan fasilitas OPS di pelabuhan yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor SE-DJPL 22 Tahun 2022 tentang Penggunaan Fasilitas Listrik Darat (Onshore Power Supply (OPS) di Pelabuhan bagi Kapal yang Berlayar di Perairan Indonesia.
Sebagai informasi, penggunaan fasilitas listrik darat di pelabuhan bagi kapal yang berlayar di perairan Indonesia dapat dilayani pada sejumlah pelabuhan, yaitu Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok dan NPCT1 Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta), Terminal Berlian (BJTI) Pelabuhan Tanjung Perak, Terminal Jamrud Pelabuhan Tanjung Perak, Terminal Nilam Pelabuhan Tanjung Perak, Terminal Teluk Lamong (Surabaya), Terminal untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) Dwitama dan TPKS Pelabuhan Tanjung Emas (Semarang), Dermaga MTP Pelabuhan Tanjung Intan dan TUKS Pusri Pelabuhan Tanjung Intan (Cilacap), serta Terminal Petikemas Banjarmasin Pelabuhan Trisakti dan Terminal Trisakti (Banjarmasin).
Ada pula di Terminal Bumiharjo Pelabuhan Kumai, Terminal Bagendang Pelabuhan Sampit, Dermaga Celuk Benoa Pelabuhan Benoa (Bali), Terminal Lembar (Nusa Tenggara Barat), Terminal Maumere dan Terminal Tenau (Nusa Tenggara Timur), Terminal Cabang Makassar dan Terminal Petikemas Pelabuhan Makassar, dan Makassar New Port (Makassar). ”Ditjen Perhubungan Laut berkomitmen untuk menjadikan pelabuhan Indonesia ramah lingkungan demi perlindungan lingkungan maritim, kelancaran mobilitas logistik nasional, dan untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia,” kata Arif.