Sejak pertengahan September 2022, rupiah terus terdepresiasi menembus batas psikologis Rp 15.000 per dollar AS. Depresiasi akan mendorong inflasi dari jalur importasi (imported inflation).
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
Dalam 3 tahun terakhir, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berada pada titik keseimbangan di kisaran Rp 14.000 per dollar AS. Namun, sejak pertengahan September 2022, rupiah terus terdepresiasi menembus batas psikologis Rp 15.000 per dollar AS. Dampak depresiasi rupiah salah satunya adalah mendorong inflasi dari jalur importasi (imported inflation).
Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), kurs rupiah pada perdagangan Rabu (26/10/2022) ditutup pada level Rp 15.596. Dibandingkan awal tahun 2022, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS telah melemah 9,3 persen.
Anjloknya kurs rupiah bukan disebabkan oleh memburuknya indikator perekonomian Indonesia. Sebab, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif baik dibandingkan negara-negara lain. Begitu pula dengan indikator lainnya seperti inflasi, neraca pembayaran, dan cadangan devisa Indonesia.
Kondisi ini terjadi karena begitu kuatnya dollar AS seiring terjadinya lonjakan suku bunga di negeri Paman Sam dan meningkatnya ketidakpastian perekonomian global akibat ancaman resesi di depan mata.
Tak heran, mata uang negara lainnya juga berjatuhan di hadapan dollar AS. Rupee India contohnya melemah 10,42 persen sejak awal tahun, ringgit Malaysia turun 11,75 persen, dan bath Thailand anjlok 12,55 persen.
Lonjakan suku bunga di AS dipicu oleh langkah bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), yang sepanjang tahun ini sangat agresif menaikkan suku bunga acuannya. Kini suku bunga acuan The Fed berada pada posisi 3,25 persen.
Lonjakan suku bunga The Fed memicu keluarnya modal dari pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Tingginya permintaan dollar AS di dalam negeri membuat dollar AS menguat terhadap rupiah.
Berdasarkan data setelmen Bank Indonesia periode 1 Januari 2022-20 Oktober 2022, pihak asing melakukan jual bersih sebesar Rp 174,04 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan beli bersih Rp 72,98 triliun di pasar saham. Artinya, sepanjang 2022, pihak asing lebih banyak menjual ketimbang membeli aset-aset keuangan dalam denominasi rupiah.
Investor global memindahkan dananya dari aset-aset berdenominasi rupiah ke aset-aset berdenominasi dollar AS lantaran imbal hasilnya lebih menarik. Di tengah tekanan ketidakpastian perekonomian global, para pemodal makin terdorong menempatkan uangnya di pasar AS karena dinilai berisiko lebih rendah ketimbang memiliki aset di negara berkembang termasuk di Indonesia.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ini berdampak pada kegiatan ekonomi yang menggunakan mata uang dollar AS terutama perdagangan impor. Dunia usaha yang mengandalkan bahan baku/bahan penolong impor tentu akan terbebani dengan pelemahan kurs rupiah ini. Sebab, karena kurs rupiah melemah, mereka harus membayar lebih ketika harganya dikonversi dari dollar AS ke rupiah.
Kondisi saat ini, industri manufaktur dalam negeri masih bergantung pada bahan baku impor. Depresiasi rupiah membuat pelaku usaha harus merogoh kocek lebih dalam.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), impor Indonesia masih didominasi oleh bahan baku/bahan penolong. Sejak Januari-September 2022, total impor bahan baku/bahan penolong mencapai 138,45 miliar dollar AS atau 77,14 persen dari total impor. Yang dimaksud dengan bahan baku/bahan penolong adalah bahan yang belum banyak melalui proses pengolahan dan biasanya habis dipakai dalam proses produksi atau umur pemakaiannya relatif pendek (kurang dari setahun).
Kenaikan harga bahan baku ini tentu akan mengerek ongkos produksi dunia usaha. Pada akhirnya, hal ini akan ditransmisikan menjadi kenaikan harga jual kepada konsumen.
Tak hanya bahan baku impor, barang-barang konsumsi impor juga akan mendorong inflasi di dalam negeri. Mengutip BPS, sampai dengan triwulan ketiga tahun ini, total impor barang konsumsi mencapai 14,59 miliar dollar AS atau setara dengan 8,13 persen dari total impor.
Di tengah daya beli masyarakat yang menurun karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan dampak resesi global, kenaikan harga jual barang karena faktor depresiasi rupiah ini bukanlah hal yang menyenangkan untuk konsumen. Pada gilirannya, kinerja dunia usaha pun bakal melambat seiring dengan makin tergerusnya daya beli masyarakat.
Namun, pelemahan nilai tukar rupiah tidak melulu berdampak buruk. Saat ini adalah momentum bagi eksportir dengan bahan baku dari dalam negeri untuk bisa meraup untung yang signifikan. Dengan harga jual yang sama dalam dollar AS, eksportir akan mendapatkan keuntungan lebih banyak saat dananya dikonversi ke dalam rupiah. Untuk bisa demikian, eksportir tentu harus pandai-pandai memperluas pasar karena secara umum akan terjadi penurunan permintaan dari negara-negara tujuan ekspor seiring melambatnya perekonomian global.
Kendati demikian, dunia usaha akan memilih nilai tukar rupiah yang stabil. Ini agar dunia usaha bisa menghitung dengan cermat proyeksi usaha mereka.
BI sejauh ini terus berupaya menjaga kestabilan nilai tukar. Otoritas moneter baru saja menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poins sehingga menjadi 4,75 persen. Ini agar imbal hasil pasar uang dalam negeri masih tetap menarik sehingga bisa menahan arus modal keluar. Dengan demikian, stabilitas nilai tukar rupiah bisa terjaga.
Upaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah juga dilakukan melalui intervensi di pasar valuta asing (valas) baik melalui transaksi spot, domestic non-deliverable forward (DNDF), maupun pembelian/penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. BI masih memiliki cadangan devisa per September 2022 sebesar 130,78 miliar dollar yang bisa dikelola untuk jadi amunisi menjaga kestabilan nilai tukar.