Kemenhub Pastikan Kebijakan "Zero ODOL" Dimulai Tahun 2023
Kementerian Perhubungan memastikan tidak akan menunda pelaksanaan kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih (over dimension over load/ODOL).Kebijakan itu akan dilaksanakan tahun 2023.
Oleh
Axel Joshua Halomoan Raja Harianja
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Perhubungan memastikan tidak akan menunda pelaksanaan kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih atau zero over dimension over loading. Kebijakan itu tetap akan dimulai pada tahun 2023 kendati masih ada pro dan kontra di tengah masyarakat.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Hendro Sugiatno, menyampaikan kepastian itu dalam acara Jumpa Pers Akhir Tahun 2022 dan Outlook Kegiatan 2023 yang disiarkan secara daring di Jakarta, Selasa (27/12/2022).
"Sampai hari ini belum ada kebijakan pencabutan atau penundaan Zero ODOL (over dimension over loading) di 2023. Jadi 2023 kita tetap akan memberlakukan Zero ODOL dengan tahapan-tahapan yang akan kami rumuskan," kata Hendro.
Hendro menjelaskan, kebijakan bebas kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih sudah berkali-kali ditunda pelaksanaannya. Aturan itu sebenarnya sudah dicanangkan sejak tahun 2017 demi mengurangi angka kecelakaan lalu lintas hingga kerusakan jalan. Namun, kebijakan baru bisa direncanakan untuk dilaksanakan pada 2023 karena ada permintaan penundaan dari asosiasi hingga pandemi Covid-19 yang melanda dunia.
"Dalam penundaan-penundaan itu, permintaan penundaan tidak diikuti dengan action plan (rencana aksi) dari yang ingin menunda. Jadi sekarang posisi ODOL itu bukannya berkurang, tetapi justru malah bertambah," ujar Hendro.
Hendro menyampaikan, aturan tersebut tidak hanya direncanakan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub), melainkan bersama Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, dan asosiasi industri. Lebih lanjut, kebijakan itu akan diterapkan secara bertahap.
"Bagaimana Zero ODOL itu bisa terlaksana dengan baik, tetapi situasi dapat kita kelola dengan baik dan tidak ada gejolak. Alasan-alasan ekonomi itu bisa kita terima, tapi kita juga harus konsekuen dengan apa yang telah disepakati tentang kebijakan Zero ODOL," ujar Hendro.
Saat dihubungi secara terpisah, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, mengatakan, kebijakan itu bisa direlaksasi karena pemerintah masih berupaya menekan inflasi.
"Untuk barang-barang komoditas mudah menguap atau volatile foods ditunda dulu, tetapi untuk barang yang tidak berpotensi menimbulkan inflasi bisa diketatkan aturannya," kata Djoko.
Djoko berpandangan, pemerintah juga bisa memberikan toleransi dengan menetapkan batas muatan tertentu untuk sejumlah komoditas bahan makanan yang tidak terlalu berat. Komoditas yang dimaksud ialah cabai, bawang putih, bawang merah, kedelai, beras, daging sapi, daging ayam, tepung terigu, dan jagung. "Selain sejumlah barang itu, sudah seharusnya dapat diterapkan menuju Zero ODOL di tahun 2023," ujarnya.
Sebelumnya, sejumlah asosiasi pengusaha berharap Zero ODOL pada 2023 ditunda. Mereka menilai, pemerintah tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut. Hal ini mengemuka dalam diskusi publik bertajuk 'Pelaksanaan Zero ODOL 2023 Perlu Pertimbangkan Dampak Ekonomi dan Sosial?' yang disiarkan secara daring di Jakarta, Kamis (15/12/2022).
Anggota Komite Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Rachmat Hidayat, mengatakan, pihaknya sebenarnya mendukung kebijakan yang bertujuan menghemat anggaran perbaikan jalan serta mewujudkan Indonesia yang lebih tertib dalam lalu lintas itu. Namun, pemerintah harus mempertimbangkan sejumlah dampak dari kebijakan itu.
"Penerapan Zero ODOL ini akan berpengaruh langsung terhadap distribusi sembako yang mana ini merupakan salah satu penyumbang inflasi negara kita dan ini bisa mengganggu ekonomi," kata Rachmat.
Rachmat melanjutkan, pemerintah seharusnya memberikan alternatif yang dapat memperlancar distribusi barang serta mengurangi ongkos pengiriman barang. Menurutnya, jika Zero ODOL diterapkan, maka pengusaha membutuhkan kendaraan yang lebih banyak lagi saat mengirimkan barang. Hal ini pun membuat ongkos yang dikeluarkan menjadi lebih tinggi.
Ia pun mengusulkan, jika memang Zero ODOL 2023 diterapkan, pemerintah bisa melakukan sejumlah solusi, seperti pengembangan infrastruktur, membebaskan biaya masuk bagi kendaraan barang, hingga uji kompetensi untuk pengemudi angkutan barang yang gratis dari pemerintah. "Kami memohon Zero ODOL di bulan Januari 2023 itu bisa ditunda paling tidak dua tahun," ujar Rachmat.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Eddy Suyanto, menyampaikan, Zero ODOL akan mempengaruhi biaya logistik serta daya saing pengusaha keramik. Indonesia, merupakan salah satu negara dengan biaya pengiriman logistik yang termahal dibanding dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, yakni 10-15 persen dari total harga jual produk.
Berdasarkan kajian yang ia lakukan, jika Zero ODOL diterapkan pada 2023, maka isi muatan keramik pada truk akan turun 70 persen dan ongkos angkut akan meningkat hingga 240 persen. Selain itu, pengusaha bakal meningkatkan harga jual keramik sekitar 20-25 persen.
Dalam diskusi itu, Direktur Lalu Lintas Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Cucu Mulyana, berujar, sejak 2021 hingga 2022, pihaknya telah menetapkan toleransi kelebihan muatan truk mulai dari 30 persen hingga 10 persen. Pada 2023 mendatang, toleransi kelebihan muatan dibatasi menjadi 5 persen. Batas toleransi ini berlaku bagi truk muatan sembako, barang esensial, barang penting, dan barang lainnya. Jika masih ditemukan truk yang melanggar aturan itu, maka akan dikenai sanksi mulai dari tilang, transfer muatan, hingga dilarang jalan.
Dalam kesempatan itu Cucu memaparkan hasil penanganan truk oleh Kemenhub sejak Januari-November 2022. Dari 1,9 juta truk yang diperiksa di jembatan timbang, 29 persen atau 545.000 kendaraan dinyatakan melanggar. Sementara dari 545 ribu kendaraan yang dinyatakan melanggar, sekitar 395.000 truk dalam kondisi kelebihan muatan 5-40 persen dari daya angkut.