Ibu kota India, New Delhi, kini memiliki lebih dari 200 stasiun pengisian daya kendaraan listrik. Jakarta perlu mengadopsi pengembangan model New Delhi.
Oleh
ADI PRINANTYO
·4 menit baca
Seperti apa wajah kota yang nantinya didominasi kendaraan listrik, baik mobil maupun sepeda motor?
Salah satu infrastruktur penunjang yang tak boleh dilewatkan tentunya stasiun pengisian daya baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV charging station). Maklum, seiring meluasnya penggunaan kendaraan listrik, makin banyak pula kebutuhan pemenuhan daya listrik.
New Delhi, ibu kota India, bisa disebut salah satu kota yang sedang gencar mengupayakan transisi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT). Di New Delhi, sejumlah infrastruktur EBT telah dan tengah dibangun guna mempercepat transisi, salah satunya panel tenaga surya/matahari.
Instalasi panel surya, misalnya, terpasang di delapan gedung kampus Universitas Jawaharlal Nehru, New Delhi. Kapasitas maksimum deretan panel surya di kampus Nehru itu mencapai 500 kilowatt per jam. Serapan energi surya kemudian dikonversi menjadi energi listrik melalui mekanisme DC power. Setelah dikonversi ke energi listrik, lantas dipakai untuk penerangan di kampus, kipas angin, dan fungsi lainnya.
Upaya lain, memperbanyak stasiun pengisian daya baterai kendaraan listrik di berbagai sisi kota. Infrastruktur pendukung ini setidaknya terwakili oleh jumlah sarana stasiun pengisian daya milik Shuchi Anant Virya Pvt Ltd, yang mencapai 30 stasiun pengisi daya, tersebar di sejumlah sudut New Delhi. Shuchi Anant Virya tak lain salah satu korporasi di India yang bergerak di bisnis energi terbarukan.
”Dari total 30 charging station itu, total tersedia 200 fasilitas pengisian daya baterai kendaraan listrik. Infrastruktur sebanyak itu kami bangun dalam setahun terakhir. Cukup progresif, tetapi di awalnya, harus diakui ada banyak sekali tantangan,” ujar Rajneesh Agrawal, CEO Shuchi Anant Virya Pvt Ltd, Rabu (14/12/2022) di New Delhi, India.
Menurut Agrawal, negosiasi kepada pemilik lahan demi kesediaan mereka ”merelakan” lahan untuk EV charging station tak begitu mudah. ”Pemilik lahan masih memikirkan biaya produksi pembangunan stasiun semacam itu, dan seberapa lama investasi itu bisa kembali. Proses itu yang pada awalnya tak mudah,” katanya.
Agrawal menyebut ”keterjangkauan” sebagai syarat penting dari stasiun pengisian daya kendaraan listrik di suatu kota. ”Keterjangkauan itu meliputi, yang pertama, strategis atau dengan mudah bisa dicapai. Lalu yang kedua, rute dan jalur menuju lokasinya cukup jelas, dan tidak rawan gangguan, semisal kemacetan. Faktor minus sedikit saja bakal mengurangi minat kunjungan, karena ini hal baru,” tambah dia.
Pemerintah India secara makro juga sudah membuka akses penerapan EBT sejak 2003. Namun, bukan berarti implementasi di lapangan serta-merta menjadi mudah. ”Seiring waktu, muncul penolakan di kalangan pemerintah negara bagian sehingga kebijakan terkait energi surya berubah-ubah dan cenderung tidak konsisten,” ucap Vinay Rustagi, Managing Director Bridge to India Energy.
Tak heran, situasi penerimaan terhadap proyek EBT di setiap negara bagian di India bisa berbeda-beda. Fenomena serupa bisa terjadi pula di Indonesia, dengan kondisi di DKI Jakarta yang bisa sangat berbeda dengan di provinsi-provinsi lain, karena sangat tergantung pemimpin dan aturan di daerah setempat.
Bahan kajian
Fenomena penerapan EBT di New Delhi, yang salah satunya dipelopori Shuchi Anant Virya Pvt Ltd, menjadi kajian bagi Indika Energy, yang sedang mengembangkan teknologi serupa di Indonesia. Dalam kunjungan ke New Delhi, pertengahan Desember 2022, tim Indika yang dipimpin CEO Indika Energy, Azis Armand, juga mencermati dan mendalami teknologi stasiun pengisian daya kendaraan listrik.
Di Indonesia, menurut CEO PT Empat Mitra Indika Tenaga Surya (EMITS), Yovie Priadi, energi terbarukan dalam bentuk tenaga surya sejauh ini juga menjadi EBT yang paling cepat diwujudkan. Bisa dibilang, sejak penandatanganan kontrak kerja sama, proyek tenaga surya bisa langsung diimplementasikan dalam enam bulan kemudian. Andai dalam bentuk lain, sebut saja tenaga angin, bakal lebih lama.
Terkait EV charging station di Indonesia, Yovie menyebut sedang dijajaki kerja sama dengan perusahaan taksi Blue Bird yang sudah memiliki armada taksi listrik, berikut baterai listrik dalam jumlah tertentu. ”Dalam perkembangannya, manajemen Blue Bird juga ingin ada pasokan renewable energy (energi terbarukan) juga, untuk armada taksi listrik,” ujar Yovie.
Masih ada sejumlah tantangan dalam perwujudan stasiun pengisian daya kendaraan listrik di Jakarta, salah satunya masa aktif konversi tenaga surya yang belum bisa selama 24 jam. Sebagai alternatif, lanjut Yovie, bisa dipasang kombinasi tenaga surya dan konversi baterai. ”Bisa saja, pagi sampai siang pakai tenaga surya, sore sampai malam dengan baterai,” kata Yovie lagi.
RI menargetkan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS pada 2023 sebesar 2.300 megawatt. Target tersebut sebagai bentuk komitmen transisi energi menuju emisi nol bersih pada 2060, seperti dicanangkan Presiden Joko Widodo. Kini, kapasitas terpasang PLTS di Indonesia baru 200 megawatt.
Langkah-langkah riil seperti penjajakan pasokan energi surya untuk taksi listrik di Jakarta bisa membuka banyak peluang instalasi serupa di kota-kota lain. Sebelum mencapai kapasitas terpasang dalam jumlah besar, memang perlu dirintis langkah-langkah nyata untuk perwujudan energi baru-terbarukan.