Kebijakan perlu ditopang oleh peta jalan yang melibatkan pelaku tebu/gula nasional dan kementerian/lembaga terkait secara konkret. Selain itu, dinamika harga pasar gula dan bioetanol patut jadi perhatian.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI, ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
Negara yang berkapasitas memproduksi gula pangan cenderung melebarkan sayap untuk menghasilkan bahan bakar nabati berbasis bioetanol. Indonesia pun tak mau ketinggalan. Bedanya, negara lain sudah mampu mengekspor gula pangannya, sedangkan Indonesia masih mengimpor.
Contoh negara eksportir gula tersebut adalah Brasil dan India. Brasil memiliki kebijakan lentur (flexing policy) yang membuat negara itu dapat mengatur proporsi produksi bioetanol dan gula pangan berdasar pergerakan harga kedua komoditas itu di pasar internasional. Adapun India dalam dokumen Peta Jalan Pencampuran Bioetanol di India 2020-2025 yang diterbitkan pada Juni 2021 menyebutkan adanya skema insentif harga untuk mendorong penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar.
Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Mohammad Abdul Ghani melihat peluang mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) berbasis bioetanol berdasarkan efisiensinya. ”Berdasarkan penelitian kami, produktivitas bioetanol (dari tebu) bisa mencapai 6-7 kiloliter per hektar atau lebih efisien dari pada produksi biodiesel,” katanya saat berkunjung ke kantor harian Kompas, Jakarta, Selasa (10/1/2023).
Rencana memproduksi bioetanol butuh perluasan lahan tebu. Ghani optimistis pemerintah dapat memberi jaminan penyediaan lahan untuk pengembangan bioetanol melalui rancangan peraturan presiden yang tengah digodok. Menurut rencana, penambahan lahan ada di Papua, Riau, Sumatera Utara, dan Jambi.
Berdasarkan dokumen rancangan Perpres tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati yang diperoleh secara terpisah menyatakan, PTPN menjadi salah satu pelaksana swasembada gula dan peningkatan penyediaan bioetanol untuk BBN. Pasal 11 draf itu menyebutkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan dukungan areal lahan perkebunan tebu melalui persetujuan pelepasan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, dan perhutanan sosial.
Sekretaris Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia Dwi Purnomo menyambut positif rancangan kebijakan tersebut. Dia menilai, kebijakan itu perlu ditopang oleh peta jalan yang melibatkan pelaku tebu/gula nasional dan kementerian/lembaga terkait. Dukungan kementerian/lembaga terkait mesti konkret. Selain itu, dinamika harga pasar gula dan bioetanol perlu menjadi perhatian.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen berharap, pemerintah fokus pada swasembada gula untuk kebutuhan pangan dibandingkan bioetanol. Ia juga menyebut proses penyusunan rancangan perpres terburu-buru.
Indonesia masih mengimpor gula mentah untuk diolah menjadi gula konsumsi. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, jumlah impor gula mentah tersebut sepanjang 2022 mencapai 1,37 juta ton atau setara dengan 1,309 juta ton gula kristal putih (GKP). Pada 2023, kebutuhan impor gula mentah sebanyak 1,04 juta ton atau setara dengan 991.000 ton GKP.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyiapkan rencana implementasi bioetanol E5 atau pencampuran etanol 5 persen dan bensin 95 persen. Menurut rencana, rencana itu akan dimulai di Surabaya, Jawa Timur, pada 2023. Namun, kepastian waktu implementasinya belum bisa dipastikan.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Edi Wibowo mengatakan, pasokan bioetanol yang siap saat ini total 40.000 kiloliter. Itu mencakup PT Enero sebanyak 30.000 kl dan PT Molindo 10.000 kl. Produksi itu diyakini cukup untuk E5 dicampur dengan pertamax di Surabaya.
”(Di Surabaya) RON 92 akan diwajibkan dengan bioetanol ini. Setelah mulai kelihatan pasarnya, kami harapkan investor tertarik sehingga bisa mengembangkan ke daerah-daerah lain. Yang jelas harus ada pasokan dan pasar,” ujar Edi, awal Desember 2022.
Meramu kebijakan gula yang ”manis” untuk sumber energi dan pangan membutuhkan rincian teknis yang komprehensif. Tak hanya menyoal penyediaan lahan, tetapi juga komitmen proporsi produksi dalam menyikapi dinamika harga gula dan bioetanol di pasar dunia.